Siapa pengamat kegiatan teater dan sastra kontemporer di Indonesia yang paling lihai? Dari sekian banyak nama yang muncul, Afrizal Malna adalah figur yang paling menonjol. Ia adalah seorang ‘aktivis seni’ yang paling tekun menggeluti persoalan kesenian dari pandangan yang banyak luput dari pandangan kita. Baginya, seni video di Indonesia kebanyakan hanyalah permainan efek-efek yang tidak punya ‘sejarah’ visual dan terjebak seperti hiburan video klip semata.
Pada suatu kesempatan, tepatnya pada 24 Juli 2011 di rumah Afrizal, Jalan Nitiprayan, Yogyakarta, Jurnal Footage mendapat kesempatan untuk ‘ngobrol’ dengan penyair plontos ini. Hadir waktu itu, Akbar Yumni (redaktur Jurnal Footage), Fuad Fauji (reporter), Manshur Zikri (jurnalis www.akumassa.org) dan seorang teman dari Yogyakarta, Tohjaya Tono (pelukis).
Berikut hasil wawancara dengan Afrizal Malna yang telah disunting di beberapa bagian untuk penyesuaian bahasa dan tidak mengurangi konten dari wawancara tersebut.
Akbar: Sebenarnya ada gak persinggungan antara video dan teater?
Afrizal: Apa ya metodenya? Terus kalau masuk ke teater. Ada apa sih modern art yang bisa dimasuki dengan kerja ‘video’? Tapi mungkin bisa begini; kerja video ke teater, output-nya bisa video, bisa teater. Tapi output-nya itu bisa saling-silang.
Akbar: Kalau sejauh ini, persinggungannya sebatas dokumentasi. Belum ada kemungkinan lain, dalam bahasa visual untuk hubungan antara video dengan teater. Apa memang belum ada?
Afrizal: Begini, keadaannya kan masih sendiri-sendiri. Gak ada komunikasi. Misalnya, Marina Abramović, yang sangat kuat dalam design (bentuk/form—red), tapi ada juga yang lain seperti kelompok Black Market di Jerman, mereka cendrung anti-design. Mereka itu seniman-seniman yang sebelumnya masuk di seni rupa. Terus mereka melihat; “Seni rupa kok jadi sombong, jadi gak manusiawi lagi? Mengejar yang serba canggih. Besar-besar. Instalasi gede-gede. Semakin jauh dari realitas kita”. Mereka akhirnya tinggalkan seni rupa. Semua disiplin seni yang sudah mapan itu—dimana sejarahnya seakan-akan sudah tidak memberi ruang lagi untuk kemanusiaan kita. Nah, sebagian anggota dari Black Market punya biografi yang seperti itu, seniman-seniman yang berada di dalam jalan buntu. Dalam disiplin ilmu masing-masing. Lalu, mereka lari ke Black Market. Di situ sebagian mereka, hidup sebagai seniman seperti ngelakoni, seperti empu-empu kita dulu. Ada juga yang memang mencari pengucapan-pengucapan lain. Mereka yang mulai memasuki pertanyaan-pertanyaan genting misalnya meninggalkan seni rupa tadi, lukisan adalah selalu peristiwa yang sudah berlalu ketika dia dipamerkan—publik hanya menyaksikan peristiwa yang mereka tidak tahu prosesnya seperti apa dan peristiwa sudah berlalu! Pertanyaan-pertanyaan itu dihadirkan untuk pendekatan kesenian dalam cara kita memandang diri kita dan untuk kita; kita sebenarnya mau ngapain? Pertanyaannya lebih kepada soal ‘hidup’. Bukan kepada kesenian itu lagi. Kesenian dianggap sudah selesai sebagai suatu sejarah teknik (techne/kepandaian—red).
Akbar: Kalau yang Marina Abramović bagaimana?
Afrizal: Kalau Marina Abramović kan, mainstream. Dia mengejar design (bentuk) yang bagus (estetik—red). Semua elemen pertunjukkan yang tergarap, fotografi-nya, semua terukur. Sudah seperti matematika.
Akbar: Lebih ke bentuk, ya?
Afrizal: Ya, ke bentuk, ke desain.
Akbar: Kalau di Indonesia bagaimana, Mas? Apa pernah lihat fenomenanya?
Afrizal: Kalau di Indonesia, performans itu punya sejarahnya sendiri. Pertama, dia lahir karena Reformasi (1998). Saat Reformasi kan teman-teman banyak yang pakai seni performans untuk demonstrasi. Warna politik dan kekerasan kuat. Warna politik dan kekerasan ini dapat dari referensi lewat tradisi kita; ada di debus, jathilan, yang mempertontonkan semacam “kehebatan”. Akhirnya cenderung seperti itu. Untuk masuk mempersoalkan wacana, bahwa seni performans harus ada… Itu sepertinya belum pernah terjadi. Kenapa dia harus ada? Apakah semata-mata suatu kemungkinan baru dalam kesenian? Atau ada pikiran lain di kita. Apakah seni performans lahir karena ruang publik kita tidak sehat? Ruang publik kita gak jelas identitasnya, atau apa? Tapi kan karena mereka (performans) sebagian keras, akhirnya publik cenderung malah takut. Jadi agresi. Beberapa yang memainkan visual, juga gak menghitung; karena orang-orang yang hadir di ruang publik pada bawa HP (telepon selular), pengen motret bersama. Begitu loh. Yang visualnya bagus, “Wah… pada potret bersama”. Akhirnya seperti itu di ruang publik.
Akbar: Kalau merujuk karya teman-teman di seni performans, misalnya ada karya-karya video performans, seperti teman-teman Ruangrupa…
Afrizal: Ruangrupa? Aku gak banyak lihat, ya. Aku terhenti melihat video tahun… Kalau tidak salah tahun 1987 atau 1988. Kami dulu punya Forum Indonesia Kecil. Terus kerja sama dengan Goethe-Institut. Bikin forum video art. Tahun 1987 atau 1988. Mengundang ahli dari Jerman sebagai pembicara. Dari Indonesia ada D.A. Peransi, dia kan pemikir pertama filem yang membawa gagasan; filem kebebasan. Saat Itu D.A. Peransi sudah sakit-sakitan. Kita harus merayu dia untuk mau keluar. Forum itu cukup representatif memberi gambaran seni video. Pertama, dia (seni video) muncul karena media (video), tapi juga ditopang oleh perkembangan teori-teori semiotika Saussure (Ferdinand de Saussure—red). Ideologi mereka (seniman video—red) untuk melawan TV dan Amerikanisasi. Jadi kerangkanya kuat. Ketika masuk ke Indonesia dan teman-teman mulai masuk ke situ (seni video—red), aku kehilangan kerangka itu. Sepertinya hanya main-main efek. Aku lihat video Krisna Murti, aku pikir ini ekspresi apa sebenarnya? Ekspresi visual lewat video? Aku agak sulit membaca itu.
Akbar: Waktu diskusi tentang video (Video Vortex #7 di Kedai Kebun, Yogyakarta—red), tidak ada keluar tentang kegiatan pada tahun 1987 itu. Kalau saja Anda datang, sebenarnya bisa cerita banyak; bahwa ada sejarah sebelumnya dan ada diskusi tentang seni video di Indonesia.
Afrizal: Aku kehilangan itu. Teman-teman kayaknya main-main saja. Udah deh… Males ngikutin. Beberapa dari Ruangrupa, aku pernah menonton video yang pakai cutter, tangannya keluar darah (video Victoria The Victorian, 2002, karya Reza ‘Asung’ Afisina). Dalam seni performans, itu kan sudah muncul seperti di karya Marina Abramović juga. Kekerasan itu muncul karena ada background perang Vietnam, yaitu bagaimana perang Vietnam memindahkan kekerasan itu ke televisi. Publik menyaksikan kekerasan itu layaknya hiburan. Akhirnya, kekerasan itulah yang dibawa keluar oleh seniman, supaya orang-orang (masyarakat) bisa kembali merasakan sakit. Ada alasan-alasan yang seperti itu. Nah, ketika teman memainkan kekerasan itu di seni video saat ini, aku gak tahu konteksnya. Aku merasa punya hak untuk mencari konteksnya tadi. Kecuali kalau aku nonton seni video seperti nonton klip-klip nyanyian (musik klip/video). Ya… Seperti itu. Terus aku agak males ngikutin. Di Langgeng (Ruang Langgeng Art Foundation, Yogyakarta), kan kemarin ada Selamatan Digital, untuk opening-nya. Aku hanya nonton pertunjukan di luar, Wayang Kampung Sebelah. Wayang Kampung Sebelah menurut aku, lebih keren.
Akbar: Ya. Saya membayangkan diskusi antar lintas disiplin, konteks teater di video. Dalam bayangan saya kan, perjumpaan itu mungkin di video performans. Sejauh ini belum ada perbicangan serius antar lintas displin untuk mendiskusikan hal ini. Makanya, perbincangan silang antara seni rupa dan teater, kalau asumsi saya pribadi, ada pada seni performans. Pertanyaan saya selama ini adalah batasan itu. Mas Afrizal bisa cerita sedikit, awal-awal kelahiran seni performans di Eropa dan Indonesia?
Afrizal: Aku tidak tahu banyak. Aku tahu potongan-potongannya saja, karena Forum PALA (Performance Art Laboratory), yang diprakarsai oleh Melati Suryodarmo, kalau gak salah ya… Sudah berlangsung lima tahun. Dia mengundang seniman-seniman performans yang cukup representatif dari Asia, Eropa, maupun Amerika setiap tahun. Terus di PALA ini menarik, karena mereka seperti laboratorium bersama; saling sharing, bagi pengalaman. Mereka mementingkan apa artinya sebuah pertemuan untuk seorang seniman. Kemudian representasi ini masuk ke forum Undisclose Territory. Setelah sharing mereka aksi di ruang publik. Di publik pun terbagi dua; ada aksi kolaborasi dan ada aksi karya sendiri. Fenomenanya (perfomans —red) macam-macam lah. Banyak teman-teman yang agak kesulitan untuk menikmati mereka. Karena sebagian besar memang mereka sudah tidak memerlukan dekorasi, tidak memerlukan salon, seadanya. Bahkan sekarang, ada gerakan yang sudah tidak tergantung lagi sama materi apa pun, hanya dengan tubuh sendiri. Nah, yang menarik di situ ada orang Indonesia, bekas seorang sutradara Teater Sae, Budi Otong, yang dilakukan mereka menurutku keren, kalau mau aku bisa kopi-in (gandakan) salah satu videonya.
Akbar: Ada perbincangan tentang penggunaan video dalam pertemuan itu?
Afrizal: Mereka ini masyarakat yang pasca itu, yang sudah gak tergoda lagi sama gitu-gituan. Malahan, hampir tidak ada yang pakai (video) sekarang ini.
Akbar: OK, agak bergeser pertanyaannya, gak apa-apa ya? Dari yang saya baca buku terbaru Mas Afrizal (Perjalanan Teater Kedua), mungkin buku yang cukup militan, karena Mas Afrizal menyempatkan diri mendatangi beberapa pertunjukkan di beberapa daerah dalam beberapa tahun.
Afrizal: Pakai duit sendiri…(tertawa)
Akbar: Dalam membaca teater memang kita harus ada dalam peristiwa itu. Sesungguhnya, teater modern di Indonesia itu dimulai tahun berapa? Atau istilah itu penting atau gak?
Afrizal: Istilah itu sebenarnya bagian dari kolonialisme. Sampai sekarang kita jadi kesulitan. Misalnya, saat kita masuk ke seni rupa kontemporer; hanya lima jam naik kereta kita sampai di Mojokerto, dan lihat peninggalan Majapahit, karya perak yang luar biasa dan karya patung. Luar biasa, ya? Kita kesulitan mencari benang merah dari “sana” ke “mari”. Bagaimana menarik benang merah itu? Dan modernisme bukan suatu bagian dari kolonialisme, untuk memotong sejarah kita. Nah, kolonialisme itu sekaligus membuat cara berpikir kita tentang sejarah dan tradisi, seakan-akan berada di luar kita, sampai sekarang. Padahal kita duduk, ngomong, minum tradisi yang ikut bekerja. Tapi ketika kita masuk ke suatu kesenian (modern—red), tradisi sepertinya ada di luar kita. Bahkan cenderung bersikap ‘militeristik’ terhadap tradisi. Misalnya, kalau sebuah tari menggunakan ‘tradisi’, selalu seragam; kostumnya seragam, geraknya seragam, bebunyiannya pun seragam. Militeristik itu. Apakah tradisi itu seperti itu? Jadi kita tidak hanya terpisah oleh apa yang kita pikirkan tentang tradisi. Tetapi juga kita melakukan ‘militerisasi’ tradisi. Pada satu sisi juga ‘salonisasi’ tradisi; geraknya bisa apapun, yang diganti hanya “kostumnya” saja. Dan “kostumnya” tambah “wah” sampai sekarang. Kemarin misalnya, di Surabaya ada satu pertunjukan dari Lamongan. Ketika dia presentasi video, dengan karya yang sama, pakai kostum A. Ketika pertunjukkan live; tarinya sama, semuanya sama, namun kostumnya ganti yang lebih ngejreng. Aku kira itu bukan salah mereka. Jadi, kalau kita lihat kembali ke teater modern, aku melihat ‘Jathilan’ itu modern banget. Aku bertemu rombongan Kuda Lumping, ketika mengikuti Monolog Festival. Monolog di ruang publik yang diadakan oleh Federasi Teater Indonesia. Lalu bertemu dengan kelompok Jathilan yang lagi ngamen dari Jawa Timur. Mereka tidur di emperan TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta—red). Terus, sama teman-teman diajak mentas di Galeri Nasional. Teks-teks mereka ngikutin perubahan. Hubungan antara kesenian dan kehidupan mereka organik. Mereka ngamen, biasanya satu keluarga. Kalau mereka mulai panen (di kampung), akan balik lagi. Jadi, aktivitas mereka memang satu siklus; antara kesenian dan kehidupan sebagai petani organik sekali. Tapi ketika mereka pentas, jadi modern. Aku pernah nonton suatu ritual di Kalimantan Timur, Dayak Bahau. Di salah satu ritualnya ada sekian penari, bergerak dari hulu ke hilir, dari ujung kampung ke ujung kampung. Mereka bergerak dengan tempat sarung naik ke atas. Sarung itu di kasih kerangka, tinggi sekali, dan jalan. Wah… Keren sekali. Di situ aku bingung. Kita ada di depan atau di belakang ketika melihat itu ya? Kalau kita menggunakan terminologi modern itu, kita jadi sulit melihat itu. Masa depan kita ada di mana? Jangan-jangan ada di belakang. Kalau misalnya teater moderen, apa yang menandai suatu pertunjukkan itu modern dengan yang tidak modern? Kalau yang modern itu suatu prosedur yang salah satunya adalah pemberontakan; idealisme, Jathilan menurutku juga ada di situ. Ada perlawanan. Aku gak tahu hubungan Jathilan dengan tekanan Islam ke masyarakat Hindu atau ke nilai-nilai mistisisme masyarakat Hindu dan mistisisme masyarakat agraris.
Akbar: Kalau di seni rupa ada PERSAGI (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) sebagai penanda modernisme dan juga perlawanan pada kolonialisme juga. Dalam sastra mungkin ada Pujangga Baru. Apakah di teater juga mengalami sejarah semacam itu juga?
Afrizal: Di teater juga ada, ketika munculnya ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film) dan diikuti oleh ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Tapi ASDRAFI dan ATNI terbelah. ASDRAFI menggunakan tradisi sebagi latar seni mereka dan ATNI memasukan teori-teori teater modern, akademis betul.
Akbar: ASDRAFI itu tahun berapa?
Afrizal: Tahun 1950an kayaknya. Kalau PERSAGI, kan ada ideologi juga yang melatari mereka, terutama pemikiran sosialisme pada waktu itu. Di ASDRAFI dan ATNI sepertinya tidak ada deh. Lebih ke Polemik Kebudayaan hubungannya, apa kita mau hidup dalam dunia tradisi atau modern, kira-kira begitu.
Akbar: Kalau ASDRAFI itu tokoh-tokohnya atau produk karyanya apa?
Afrizal: Aku lupa.
Akbar: Kalau filem, mereka pernah memproduksi?
Afrizal: ASDRAFI itu singkatan dari Akademi Seni Drama dan Film. Aku gak tahu produknya apa. Kalau ATNI, akarnya dari Teater Maya, Usmar Ismail, yang kemudian ke filem. Lalu sampai ke Teguh Karya dengan Teater Populer, dan Asrul Sani. Itu tokoh-tokohnya. Kalau ASDRAFI, siapa ya tokoh-tokoh utamanya ya?
Akbar: Nah, kalau persinggungan teater dan filem, sejak kehadiran ATNI, bagaimana?
Afrizal: Teater dan filem sejak awal kan dekat. Terutama yang dilakukan Usmar Ismail, kemudian berlanjut Asrul Sani…
Akbar: Teguh Karya…
Afrizal: Ya… Teguh Karya… Berdekatan betul mereka.
Akbar: Sejauh mana pengaruh teater dalam filem, seperti karya Asrul Sani, yang satu di antaranya cukup kuat pengaruh ‘nuansa’ teater?
Afrizal: Mungkin bukan ‘nuansa’ teater, tapi penggarapan aktor. Sekarang kan lebih termanjakan oleh teknologi. Misalnya aku ngob rol dengan teman-teman filem, terutama sutradara, menghadapi satu gagasan langsung yang terpikirkan adalah “Ini pake lampu apa, lensa apa. Begitu di kepala mereka, yang muncul itu; langsung peralatan-peralatan, manusianya lebih ke negosiasi pasar seperti produser memilih siapa yang bisa dijual. Ada seperti itu lah. Walaupun mungkin gak semuanya. Tapi menarik, mendekatkan kembali teater dan filem.
Akbar: Fuad mungkin mau tanya…
Fuad: Udah ke ArtJog?
Afrizal: Di mana ArtJog?
Fuad: Di Taman Budaya (Yogyakarta)
Afrizal: Yang lagi pameran di sana ya? Belum… Belum. Aku lagi bosan seni rupa.
Semua: Tertawa.
Afrizal: Aku gak ngerti seni rupa sekarang.
Tono: Sampai ada kaos, “Seni Rupa Gini-gini Aja”
Afrizal: Aku harus membaca apa ya? Ini peristiwa seni atau peristiwa pasar?
Tono: Itu tadi yang Afrizal bilang seperti ada jarak antara seni rupa. Saya juga sempat ngobrol sama teman-teman, kenapa begini-gini aja?
Afrizal: Iya. Kalau gini-gini aja ngapain produksi terus.
Tono: Apa cuma segini aja?
Afrizal: Semua kayak ngejar ‘setoran’.
Akbar: Saya pernah membaca tentang Jay Subiakto, yang ditulis di Kompas dan Tempo, tentang ‘panggung miring’ dalam salah satu pementasannya.
Afrizal: ‘Panggung miring’ sebenarnya sudah lama loh…
Akbar: Nah makanya, ada diskriminasi dalam wilayah kebudayaan, yang dilakukan oleh media besar. Yang sempat saya dengar, teman-teman teater di Jakarta Utara pernah melakukan itu di tahun 1990-an. Kenapa tidak pernah fair? Pelaku-pelaku kebudayaan yang kecil pun juga pernah melakukan lebih dulu. Tapi kenapa tidak di tulis? Mas Afrizal juga pernah menjadi juru bicara bagi mereka. Ada diskriminasi terhadap wilayah kebudayaan oleh media massa di Indonesia. Apakah dalam kasus ini terus berlangsung di Indonesia?
Afrizal: Begini ya, agak tidak enak diceritakan. Saya pernah begitu rutin menulis teater, sampai akhirnya menghasilkan buku itu (Perjalanan Teater Kedua—red), sampai kemudian sebagai penonton teater, saya stagnan. Artinya, saya tidak tahu lagi apa yang harus saya tulis. Pertunjukkan-pertunjukkan itu juga tidak memancing cara-cara menonton yang lain. Akhirnya saya tidak menulis cukup lama.
Akbar: Teater ada jurnal atau medianya gak saat ini?
Afrizal: Teater sama halnya dengan seni tari. Mereka orang-orang yang menurut saya harus bekerja keras gitu. Dengan uang seadanya dan gak ada penghasilan. Ketika mereka dituntut bisa menulis diri mereka sendiri, itu sepertinya jadi gak adil. Jadi, memang harus ada pihak lain yang memperhatikan mereka. Misalnya untuk “memperingatkan diri” mereka saja. Bagaimana stigma teater di masyarakat; apakah teater di masyarakat itu masih kelihatan “kumuh, gokil, menakutkan?”. Apakah stigma itu perlu diubah atau gimana? itu saja tidak mudah untuk mengatasinya, karena banyak perubahan di masyarakat.
Akbar: Apakah teman-teman teater di gelanggang remaja itu masih aktif?
Afrizal: Mereka aktif karena Festival Teater Jakarta (FTJ). Tapi FTJ kan juga festival yang tidak memiliki target pengembangan wacana teater. Festival itu semata-mata seperti menghabiskan anggaran yang sudah ada. Daripada anggaran itu diambil lagi sama pemerintah. Dan ketika terjadi perubahan di strategi, bagaimana festival itu diadakan, mungkin akan berhadapan dengan bagaimana b udget itu disusun. Jadi, ada masalah birokrasi dan strategi yang kadang dua hal itu tidak ketemu. Festival itu seakan-akan hanya menjalankan tradisi. Misalnya apakah festival itu setiap tahun mempunyai tema, berdasarkan entah situasi politik, tantangan wacana ke depan? Kalau pakai tema, kan mendorong terjadinya perubahan wacana. Tapi kalau gak, mungkin hanya menjalankan keharusan yang ada. Itu jadi rutin. Akhirnya, jadi ‘kejar setoran’ juga.
Tono: Festival Gamelan, bagaimana? Balik lagi yang tadi mas Afrizal bilang kondisi sosial dan politik.
Afrizal: Kayaknya agak beda. Festival Gamelan, karena tidak memilih pemenang, jadi tidak punya beban kalah. Mereka lebih berani berkarya. Tapi kalau FTJ ada motif ingin menang, dan ada ketakutan untuk “berani”. Karena kalau “berani” dianggap “sewenang-wenang”, oleh juri-jurinya. Melanggar “ini” lah, melanggar “pakem” lah, apalah… Misalnya, masalah tokoh; ada satu tokoh dalam naskah yang mereka perankan seharusnya tidak mati, dibuat mati misalnya. Itu oleh juri yang pandangannya sempit, walau pertunjukkan bagus oleh mereka dianggap menyalahi naskah. Bisa dianggap gagal. Walaupun pertunjukkannya bagus. Jadi kayak “syari’ah” begitu…
Semua: Tertawa ringan…
Afrizal: Itu memang lucu. Tapi itu terjadi. Kalau menurutku, yang sekarang kita perlukan melihat lagi konstitusi politik kita. Di konstitusi kita kan, kebudayaan di pandang sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah. Puncak-puncak kebudayaan daerah itu siapa yang melakukan? Produknya apa? Mekanismenya seperti apa? Kalau kebudayaan dalam konstitusi tetap seperti itu, kita tidak tahu mekanisme yang harus diturunkan. Negara komunitas atau negara ada orang per orang di dalamnya. Tapi kalau kebudayaan itu adalah hak seluruh rakyat Indonesia, itu jelas untuk menentukan infrastruktur dan suprastrukturnya. Nah, sekarang infrastrukturnya, ada lembaga pendidikan, Dewan Kesenian, Taman Budaya, galeri, kita gak tahu hubungannya gimana dengan pasar itu. Bagaimana hubungannya? Terus ada b iennale dan museum. Museum yang mengkonservasi semua yang terjadi ini, didokumentasi lewat museum, dan b iennale yang mengangkat wacana. Supaya terjadi terus-menerus. Nah, ini gak ada mekanismenya. Kalau ada, Dewan Kesenian dan Taman Budaya, gimana hubungannya di dalam fenomena kesenian ini. Bagaimana seorang esais, ingin menjadi esais. Dia harus kemana? Kan gak ada. Paling hanya ada penyair; “Ohh…gue harus ngirim ke koran!”. Masak hanya ke koran? Sepertinya kalau tidak pernah dib eresin, dan pasar bertambah kuat, ya… Pasar lah yang mengambil itu semua. Kita tidak punya apa-apa dari kesenian kita sendiri.
Akbar: Kembali lagi ke tema semula, kira-kira gimana pandangan teater terhadap teknologi atau video? Apakah mereka merespon atau ada ruang bahasa baru dalam teater?
Afrizal: Mereka merespon. Tetapi responnya lebih sebagai ‘aksesoris’ saja. Kalau aku kembali ke pikiran seniman-seniman seni video jamannya Nam June-Paik, kan yang pure. Punya keinginan menggarap, ingin tahu karakter video itu apa, potensinya apa. Mereka betul-betul ingin berkarya berdasarkan seluruh apa yang ada pada kekuatan medium itu. Tapi kalau teman-teman teater (di sini), mendekati video (atau mesin), mereka lebih menggunakannya sebagai setting. Bukan misalnya gue mau mengambil ini nih, mau mengambil setting mesin misalnya ya. Tidak berusaha berpikir untuk menciptakan ‘teater mesin’ itu seperti apa. Apakah masih memerlukan aktor? Atau kita hanya perlu per-per (mesin) saja, yang kita sutradarai.
Tono: Cuma sebagai background saja ya, Mas?
Afrizal: Cuma artistik. Tidak menggali mediumnya. Kalau video masuk ke teater, mungkin di kepalaku seharusnya jadi teater video. Seharusnya, ya? Jadi kaya…
Akbar: Tapi dimungkinkan gak, di dalam teater?
Afrizal: Mungkin dong! Video di teater (di sini) sama saja seperti gantiin level panggung. Level sudah gak jaman. Video dan cahayanya dengan apa? Itu bukan teater video, teater mesin atau teater teknologi. Ini sama saja di seni tari. Di seni tari, misalnya mereka meng-explore perempuan-perempuan yang berdagang nasi di pasar, yang di koreografi penarinya, bukan pasarnya. Kalau orientasi ide-nya pasar, ya… Yang harus dikoreografi pasarnya. Penari kan sudah jelas. Sudah bagian dari dunia mereka. Bagaimana kalau pasarnya di koreografi? Mungkin akan berubah seni tari, kalau cara berpikirnya seperti itu.
Tono: Agak melenceng nih… Kalau bicara soal tubuh dalam teater dan tubuh dalam filem itu ada bedanya, gak?
Afrizal: Kayaknya durasinya beda. Seperti waktu yang hidup di aktor dalam teater, dan waktu yang hidup di tubuh filem; lain.
Akbar: Mungkin bisa diulang lagi Mas, tubuh dalam filem dan teater, dan durasi itu…
Afrizal: Durasi beda. Berbeda karena dalam filem, aktor berhadapan dengan desain kamera. Kalau aktor (teater) dalam desain panggung. Jadi, dari situ ada hubungan jarak antar panggung dan penonton. Kalau dalam filem, dia diperbesar sedemikian rupa. Sehingga, kalau di teater harus melakukan acting seratus persen, di filem mungkin hanya empat puluh persen, bahkan tiga puluh persen. Terutama di dimensi waktu; berbeda. Muatan tubuh, muatan pesan yang dibawa aktor juga berbeda. Bagaimana tubuh harus menyampaikan. Dalam filem tubuh aktor bisa dipenggal-penggal, berdasarkan frame. Kalau di teater nggak, tubuh aktor tetap satu kesatuan. Kecuali mereka membayangkan struktur yang agak unik, ya… Mungkin tubuhnya bisa terpenggal-penggal lewat strategi teks dan struktur.
Tono: Monolog?
Afrizal: Atau monolog. Monolog menurutku sekarang sedang terjadi pertemuan yang sangat unik dengan seni performans. Beberapa monolog yang aku saksikan seperti; Endra Setiawan, mirip seni performans. Tapi teman-teman seni performans tetap menganggap itu monolog. Monolognya dilakukan dengan teori acting yang sangat sederhana. Dia masuk bersama penonton, penonton tidak tahu bahwa dia aktor, tiba-tiba dia mulai sedikit-sedikit ngikutin penonton yang jadi targetnya. Mulai meniru semua tindakan penonton yang dia ikuti. Dari situ dia mulai melakukan pengembangan teks dari temuan-temuan bersama penonton, sampai akhir. Jadi dia seperti mengolah teks yang ada di penonton sebenarnya. Diolah sedemikian rupa dengan segala siasat yang dia siapkan.
Akbar: Kalau soal pewacanaan di teater gimana, Mas? Pernah ada terjemahan tentang Stanislavsky, Grotowsky, dan Brecht.
Afrizal: Sekarang, teater-teater kampus wacana menjadi kuat. Mungkin karena teater memiliki banyak beban, dan tekanan. Jadi, mereka masuk ke workshop-workshop acting yang formal. Teater Kampus betul-betul memperlakukan teater seperti sekolahan.Sehingga mereka lupa bahwa sebenarnya mereka bisa membuat teater dari fisika, biologi, sesuai dengan studi mereka masing-masing. Tapi karena mereka mengikuti workshop-workshop acting yang formal, akhirnya mereka kayak membangun diri mereka akan seperti seorang aktor. Bukan sejumlah aktivis kampus yang menggunakan teater sebagai pengalaman mereka memasuki kesenian. Dan bagaimana kesenian itu seharusnya berguna lagi bagi mereka masuk ke disiplin mereka. Kalau mereka dari fisika, menurutku seharusnya mereka berpikir bagaimana fisika menjadi sebuah pertunjukkan. Menurutku itu bisa jadi keren. Jadi, kalau ada workshop teater dibawa ke disiplin mereka masing-masing, sehingga teater ada sumbangan untuk mereka dan disiplin mereka juga ada sumbangan buat teater. Sekarang kan semua nya kayak diformulakan. Kalau diskusi dengan mereka, pertanyaan mereka standar, “Bagaimana buat puisi yang baik dan benar”. “Bagaimana buat teater yang baik dan benar”. Itu berarti budaya pendidikan kita membawa mereka berada pada posisi yang seperti itu. Posisi yang tidak berani menjadi “yang lain”. Menurutku teater penting karena belajar menjadi “yang lain”. Berusaha mengerti “yang lain” itu apa. Supaya kita gak seperti “agama” yang nyalah-nyalahkan yang bukan agama kita.
Akbar: Kalau wacana teater di filem kita gimana, Mas? Kalau dulu kan pernah ada sutradara Jerman mengeksplorasi penggunaan Brecht pada karya-karyanya, seperti Fassbinder.
Afrizal: Iya…seperti Woyzeck (Werner Herzog, 1979—red)…
Akbar: Ya…
Afrizal: Sepertinya belum pernah. Naskahnya belum kuat sampai ke situ. Mungkin menarik kalau pakai naskah-naskah Putu (Putu Wijaya—red). Karena naskahnya unik. Misalnya Aduh. Kalau difilemkan, gimana ya Aduh nya Putu? Kayaknya bisa jadi keren.
Akbar: Yang dilakukan oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani, sesungguhnya teater macam apa yang mereka gunakan dalam filem mereka?
Afrizal: Teater sekolahan.
Akbar: Oh begitu.
Afrizal: Mereka teater sekolahan. Teater etnis. Etnis maksudnya pendekatan kebudayaan; naskah setting apa, setting-nya apa, kostum-nya bagaimana. Jadi, sangat etnografis pendekatan mereka.
Akbar: Balik ke yang tadi… sebenarnya menarik tadi yang diungkapkan tentang kelompok-kelompok Black Market sebagai kelompok di luar Marina Abramović.
Afrizal: Sekarang lagi “dipulangin” sama teman-teman seni rupa; tentang tengkorak atau apa lah… (tertawa)
Fuad: Di DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) ada video Mas Afrizal.
Afrizal: Itu aku coba mempraktekkan kerja menulis puisi ke visual. Konsekuensinya, visual kan sangat provokatif ya… Jadi, teks harus ngalah ya sama visual.
Tono: Tapi bukannya “kekerenan” itu ada dimana-mana?
Afrizal: Betul. Agresi kayak virus. Seperti penyakit dalam diri kita. Tanpa agresi, seperti gak percaya diri. Selalu ada unsur agresi walaupun hanya untuk menghibur. Misalnya di Yogya, pembukaan pameran, biasanya pakai musik. Musik itu kan menghibur, tapi menjadi agresif karena pemainnya banyak. Pakai penari yang banyak, kayak Campur Sari. Kemarin di sini, pembukaan pameran, di agresi penyanyi yang seksi, dan rok mini. Itu agresi juga.
Semua: Tertawa…
Afrizal: Tapi itu tema yang menarik dikembangkan, kenapa agresi itu kayak penyakit yang menguasai kita semua. Kalau gak kita pakai, gak percaya diri. Kalau bahasa anak sekarang itu; “lebay”.
Akbar: Kalau dalam puisi dan visual di Indonesia, sejauhmana karya video atau filem di punya muatan seperti itu?
Afrizal: Aku melihat puisi yang sukses di buat di luar puisi itu sendiri Aduh karya Putu Wijaya. Itu menurut sebuah puisi. Kalau di filem, misalnya Garin (Garin Nugroho—red), itu menurutku bukan puisi, tapi puitisasi.
Semua: Tertawa
Afrizal: Di puitis-puitiskan.
Semua: Tertawa
Afrizal: Tapi tidak pernah menjadi puisi. Jadi, teman-teman cenderung memperlakukan puisi sebagai kata sifat. Jadi apa yang dimaksud puisi adalah sesuatu yang “puitis” lah. Puitis itu artinya ada durasi yang agak distorsi sedikit dari durasi sebenarnya.
Akbar: Yang dimaksud dengan visual yang puitik bagaimana?
Afrizal: Contoh apa ya… Yang menarik? Di festival monolog di ruang publik kemarin, ada dua contoh yang menarik. Satu monolog Adi yang betul-betul teksnya pakai puisi. Dia membacakan puisi salah satu bagian monolog yang dilakukan. Tapi ada satu mahasiswa Madura, namanya Anwari, anaknya kayak seperti autistik. Di ending-nya itu dia membawa sebuah kendi. Dia menghadap sungai Ciliwung. Menghadap ke kendi. Dipukulkan ke kepalanya, jatuh (pecahan kendi) ke sungai. Dalam hitungan yang tepat, ketika (pecahan kendi) jatuh, dia ikut nyeb ur. Dia tidak menunggu orang memotret. Pokoknya dalam hitungan yang tepat, ketika jatuh, nyeb ur, langsung hilang. Air sungai tinggal sedikit riak, pas tinggal riak-riak, kepalanya muncul, hanya kepala, pleng… Kalau teman-teman penyair yang membuat video dari puisinya, juga akhirnya jadi klip saja. Mereka seperti mengilustrasikan kata jadi gambar.
Akbar: Tapi sejauh mana kata menjadi jembatan visual itu? Apakah itu dimungkinkan?
Afrizal: Kalau misalnya puisi divisualkan, dan kalau sebenarnya visual itu intinya sama dengan kata itu. Misalnya api, visualnya api betulan.
Akbar: Pengulangan ya…
Afrizal: Pengulangan itu menurutku aneh. Gak ada alasan untuk membuat itu. Jadi (mereka) gak percaya sama kata… (tertawa)… Jadi cerewet… Dan genit.
Akbar: Kalau tadi puisi tidak selalu menjadi kata sifat, seharusnya menjadi apa?
Afrizal: Ya… Menurutku harus menjadi sebuah kehadiran, bukan kelihatan rekayasanya atau siasatnya.
***
Tentang Afrizal Malna
Lahir di Jakarta pada 7 Juni 1957. Adalah seorang penulis prosa, puisi, pertunjukan teater dan esai yang yang paling produktif di era akhir 1980an dan tahun 1990an. Menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (tidak selesai). Sebagai penyair, ia pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam Belanda tahun 1995. Tak terhitung tulisan berupa puisi, cerpen dan esainya dimuat di berbagai media massa antara lain; Majalah Horison, Harian Kompas, Berita Buana, Repub lika, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Surab aya Pos, Pikiran Rakyat dan lain-lain. Ia juga menulis pengantar untuk kumpulan puisi para penyair Indonesia. Sejumah penerbitan buku yang memasukan Afrizal Malna di dalamnya dan buku karyanya sendiri antara lain; Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan Sastra Kontekstual (1986), Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991), Dinamika Budaya dan Politik (1991), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Pistol Perdamaian (1996), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari Pembaca Yang Tak Bersih (2000), Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, Kumpulan Prosa (2003), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (2004) dan Lubang dari Separuh Langit (2005). Pada tahun 2011, Afrizal Malna menerbitkan buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata.