Imaji Visual Sajak-sajak Afrizal Malna

Oleh:  Acep Iwan Saidi**

Dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, Afrizal Malna dapat ditandai sebagai sebuah noktah tersendiri, sebagaimana juga Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Soetardzi Calzoum Bachri pada zamannya masing-masing. Noktah itu adalah sebuah deviasi, sebuah titik yang membuat bingkai jadi retak, lalu ia keluar: menyimpang sendiri.

Afrizal memang takbisa keluar seluruhnya dari bingkai itu. Sayup-sayup suara penyajak sebelumnya seperti Amir Hamzah dan juga Chairil, paling tidak, masih tetap terdengar dalam sajak-sajaknya. Seseorang yang minggat dari rumah sekalipun, ia memang tidak akan pernah bisa menghapus seluruh jejak rumah yang ditinggalkannya. Inovasi selalu bersandar pada tradisi. 

Sementara itu, orang yang meretakkan bingkai mula-mula selalu sulit dipahami. Terdapat dua faktor, setidaknya, yang menyebabkan hal itu. Pertama, “sang perusak” menjadi semacam alien yang memiliki tabiat berbeda dari lingkungannya—dengan eksplisit Chairil Anwar menegaskan kondisi ini pada dirinya dengan ungkapan termashur “aku ini binatang jalang/yang terbuang dari kelompoknya”. Kedua, pada tepi lain, pihak-pihak yang memiliki iman yang teguh pada bingkai biasanya akan mengambil jarak dari sang perusak. Alih-alih mau menyentuhnya, ia akan melihatnya dengan sebelah mata, bahkan jika bisa mengutuknya menjadi batu. Namun pun begitu, jika si alien mampu membangun bingkai baru yang unik, biasanya ia akan memiliki penggemar, bahkan mazabnya tersendiri.

Fenomena tersebut, saya pikir, terjadi juga pada Afrizal. Sepanjang pengamatan, saya tidak menemukan catatan (kritik) mengenai penyair ini dari seorang kritikus atau sastrawan senior—yang biasanya tulisannya sering menjadi acuan masyarakat. Dalam sebuah obrolan informal, Afrizal sempat mengabarkan tentang seorang kritikus ternama dari Yogyakarta yang bersedia memberi catatan mengenai sajaknya jika ia telah membaca seluruh puisi di dunia. “Saya tidak dipercayai pernah menulis sajak”, ungkap Afrizal. Sementara itu, almarhum Umar Kayam juga sempat mengatakan bahwa ajak-sajak Afrizal sangat sulit dipahami. Pendek kata, Afrizal tidak dilirik. Mungkin ia tidak melahirkan dirinya dengan hentakkan sebagaimana Soetarzdi Calzoum Bachri yang dengan kredonya menenung banyak kalangan.

Tapi, pada saat yang sama, media massa rupanya memberi ruang kepada Afrizal. Pada dekade 90-an tulisan-tulisannya, terutama esei, terbit di berbagai surat kabar. Sementara sajak-sajaknya, pada periode awal, ia terbitkan dalam bentuk stensilan. “Semula saya tidak tahu bahwa ada cara mempublikasikan puisi”, ujar penyair ini dalam diskusi di Redaksi Pikiran Rakyat (5/5/2010). Dengan cara seperti ini Afrizal hadir di ruang publik dan dengan cara ini pula ia seperti menyebarkan semacam virus kepada penulis-penulis lain, baik penulis seangkatan maupun sesudahnya. Dari situ, pada dekade 90-an sempat terlontar sebuah istilah “afrizalian” untuk mendefinisikan para efigon Afrizal. Istilah ini, meskipun tidak menjadi wacana yang memanjang, tetap bisa dicatat sebagai tanda dalam sejarah sastra Indonesia, sebuah noktah dari kehadiran seorang penyair bernama Afrizal Malna. Dan penyair ini tetap sendirian sebab tidak ada efigonnya yang berhasil “melahirkan” Afrizal yang lain.

Lantas, apa sebenarnya yang diusung Afrizal dalam sajak-sajaknya? Atau bagaimana sajak-sajak penyair yang baru menerbitkan seluruh sajaknya (dari lima kumpulan yang terbit sebelumnya) dalam sebuah kumpulan bertajuk pada bantal berasap ini? Seperti dibilang Kayam, sajak Afrizal memang sulit dipahami. Hal ini barangkali yang menyebabkan semua efigonnya gagal menulis puisi. Namun, sulit dipahami tidak sama dengan tidak bisa dipahami. Dalam tulisan pendek ini—yang tentu saja sangat tidak memadai—saya akan mencoba memberi tafsir atasnya.

Pergerakan Kata Yang Liar Pada Struktur Sintagmatik Yang Ketat
Barangsiapa membaca sajak Afrizal dengan frame konvensional: bahwa sajak harus mengandung makna, pesan, dan nilai tertentu, kiranya ia akan sangat kecewa. Soalnya, melalui sajak-sajaknya, Afrizal, hemat saya, tidak memiliki ambisi untuk mengedepankan makna, pesan, dan nilai konvensional tertentu yang biasanya secara parsial terbangun pada masing-masing sajak. Sajak-sajak Afrizal harus dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah konstruksi gagasan besar yang terakumulasi dari kegelisahan penyair sepanjang proses keberkaryaannya. Bagi saya, kegelisahan yang dimaksud adalah kegelisahan mengenai bahasa—yang dengan demikian mengenai sajak itu sendiri. Melalui sajak-sajaknya Afrizal seperti hendak mengajak pembaca untuk mencari “jalan keluar bagi bahasa” yang sepanjang sejarah perjalanan bahasa itu sendiri memang selalu menjadi perdebatan.

Salah satu contoh kasus terkait topik tersebut, periksalah sajak berjudul Blax Box (hal. 26), misalnya. Melalui sajak ini Afrizal tampak meresepsi sekaligus mempertanyakan konsep linguistik Sausurian yang melihat hukum arbitrer (manasuka) dalam bahasa. Proses penamaan objek-objek (terbentuknya kata), baik yang abstrak maupun konkret dalam realitas dilihat Saussure sebagai proses yang terpisah dari realitas itu sendiri. Penamaan atas objek adalah pengambilan objek itu dari realitas dan kemudian menempatkannya dalam struktur (sistem) yang disepakati bersama sebagai konvensi. Di dalam struktur, kata-kata kemudian saling berelasi dan membentuk maknanya. Fonem, sebagai pembeda bunyi menjadi salah satu yang berperan penting dalam proses pembedaan itu. Kasir memiliki makna semata-mata karena ada kata lain yang berbunyi kasur, misalnya. Dengan demikian, dalam proses penciptaan makna, kata menjadi tidak penting, yang penting adalah relasinya dalam struktur. Walhasil, struktur menjadi yang utama.

Afrizal mengkonkretisasi konsep tersebut melalui bait pertama Black Box sebagai berikut: “nabi/kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi/tidak nabi/ kalau b diganti dengan n, dia menjadi/nani/ tidak babi. black box. kalau b diganti dengan/p, dia menjadi napi/ tidak nani/ kalau n diganti/dengan r, dia menjadi rabi/ black box/ tidak napi/kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi/ kalau/s diganti dengan r, dia menjadi nari/ black box/tidak rabi atau nasi”. 

Tapi, Afrizal tidak berhenti sampai di situ. Makna kata yang dibedakan karena perbedaan bunyi tersebut kemudian ia kritisi. Penyair ini agaknya tidak percaya dengan hukum tersebut sehingga pada bait berikutnya ia menulis, “tapi setiap kata/yang kita tanam. Jaraknya tak terukur/lebih jauh jarak dari musim semi dengan seekor/keong yang berjalan di atas lidah kita”. Lantas Afrizal menempatkan kata sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan tersendiri, menempatkan bahasa sebagai ruh, sebagai realitas yang hidup, bukan sekedar permainan bunyi. Untuk itu, pada bait terakhir ia menulis, “aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan/kembali manusia seperti speaker dalam kobaran/api/black box//.

Kasus lain dari tawaran “jalan bahasa” Afrizal adalah pengubahan paradigmatik atas bahasa. Merujuk pada semiotika Roland Barthes (yang juga rujukan awalnya dari Saussure) mengenai dikotomi sintagmatik-paradigmatik dalam bahasa, Afrizal lagi-lagi mengedepankan persepsi yang menarik. Pada poros sintagmatik Saussure, kata-kata dalam struktur baru-bisa berfungsi jika hukum strukturnya tidak dirusak, misalnya ia harus tersusun sebagai jajaran Subjek (P), Predikat (P), dan Objek (O). Kata-kata yang hadir (presence) pada struktur ini, dalam poros paradigmatik bisa saling bertukar dengan kata-kata lain yang tidak hadir (in absentia), dan hal ini hanya terjadi pada benak pembaca sebagai asosiasi. Saussure maupun Barthes tidak membatasi asosiasi ini; yang difokuskan dalam kajiannya (linguistik struktural Saussure dan semiotika structural Barthes) memang fungsi bahasa sebagai tanda pada struktur itu sendiri.

Dengan rujukan tersebut bisa dilihat bahwa sajak-sajak Afrizal, secara keseluruhan, bermain pada poros sintagmatik yang ketat di satu sisi dan di sisi lain sangat liar pada poros paradigmatik. Dengan kata lain, Afrizal konvensional secara sintagmatik, tetapi sangat inkonvensional secara paradigmatik. Perhatikan, misalnya, larik “kotak-kotak kardus sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba”. Kata kotak-kotak kardus pada larik ini adalah kata yang dipilih secara ekstrem dari poros paradigmatik dan kemudian ditempatkan sebagai subjek pada poros sintagmatik. Kata itu sama sekali tidak mengganggu struktur. Kita bisa secara ekstrem pula mengganti kata kotak-kotak kardus itu dengan kata para pemulung, misalnya, sehingga lariknya menjadi “para pemulung sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba”, sehingga larik ini menjadi sangat konvensional. 

Cara menyeleksi dan mempertukarkan kata (proses membandingkan, metaforarisasi) yang ekstrem demikian kiranya yang menyebabkan sebagian pihak menilai sajak Afrizal sangat sukar dipahami. Kesukaran itu terjadi sebab cara kita melihat bahasa memang sangat konvensional, bahasa hanya dilihat sebagai alat untuk mendeskripsikan, bukan sebuah entitas tersendiri yang memiliki daya mengkonstruksi dunia hingga ke titik yang paling misterius.

***

*Disampaikan dalam Diskusi di HU Pikiran Rakyat, 5 Mei 2010
** Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB.

Sumber: dari Sini

Esai Afrizal Malna: Koreografi dari Ambang Batas Tari

Sebuah percakapan kecil, gerak-gerak kecil, terputus, ragu, gerak diulang kembali, merupakan adegan-adegan pembuka pertunjukan tari Ruang Abu-Abu karya Sekar Alit dari Surabaya. Lalu seorang penari perempuan, yang dimainkan sendiri oleh Sekar Alit, menyanyikan sebuah lagu cinta yang juga penuh keraguan. Sebuah koreografi yang mulai ditempatkan di atas ambang batas tari dengan yang bukan tari. Tari tidak lagi melulu diperlakukan sebagai sebuah kesatuan gerak, tetapi juga sebagai instalasi gerak dengan struktur yang tidak saling mengikat.

Koreografi yang dilakukan Alit, mulai terfokus kepada gagasan yang menjadi pijakan pertunjukannya. Tidak lagi melulu kepada gerak.

Membangun dan Jatuhnya Ruang Tari
Narasi-narasi kecil tersebut menjadi strategi untuk memasuki gagasan pertunjukan Sekar Alit, bahwa kita kini berada di   ruang abu-abu: Ruang yang tidak berbatas lagi antara yang benar dan yang salah, antara sampah dengan yang bukan sampah. Strategi gerak-gerak pendek yang digunakan Alit, menghasilkan struktur yang tidak lagi semata melayani alur pertunjukan yang harus ditempuh. Tetapi juga struktur yang mendapatkan ruang untuk bernafas dan membangun dimensi. 

ads ads ads ads
Narasi-narasi kecil juga banyak digunakan Alit dalam memainkan tangan maupun gerakan kepala: gerak tidak melulu dihasilkan melalui kesatuan tubuh. Setiap anggota tubuh adalah kemungkinan untuk menciptakan peristiwa, dimensi maupun momen. Beberapa bentuk gerak berusaha dibingkai untuk menghasilkan tema maupun emosi. Bingkai yang dibuat dengan melakukan repetisi, seperti menyeret tubuh yang beberapa kali diulang. Atau dengan mengkomunikasikan permainan jari-jari tangan dengan mulut. Menghasilkan imaji-imaji percakapan dan kejutan kecil yang menyengat ketika jari-jari tangan itu berubah menjadi ular yang mematuk mulut dengan gerak cepat. Alit juga menggunakan celana dalam berukuran besar untuk menghasilkan berbagai imaji yang bersifat satir antara kepala dan celana dalam. Kemudian pawai sampah yang terseret di belakang tubuh penari, menjelang pertunjukan berakhir.

Melalui gerakan-gerakan besar dengan tubuh sebagai kesatuan, narasi dengan rangkaian gerak-gerak pendek juga terjadi dalam pertunjukan 2 W, karya PD. De dari Surabaya. Pertunjukan yang ingin mengatakan tentang kekuatan perempuan. Tidak adanya fokus, atau sesuatu yang lebih spesifik lagi dari kekuatan perempuan itu, membuat pertunjukan ini hanya menghasilkan imaji-imaji fisik tentang kekuatan: tangan terkepal, mengeluarkan otot, mengangkat level, gerak mime menarik sesuatu yang berat dan gerak jatuh yang streotip. Tema-tema gerak yang pada gilirannya tidak ada bedanya dengan streotip kekuatan lelaki.

Tidak terjadinya komunikasi yang saling menghasilkan jalinan imaji antara gerak dan musik, terutama volume musik yang mengatasi volume ruang pertunjukan, ikut menyulitkan usaha mengangkat tema kekuatan perempuan dalam pertunjukan ini. Eksplorasi yang mereka lakukan tidak cukup berimbang dengan disain yang mereka buat. Resiko skenografis juga tak terhindari melalui penggunaan 3 level hitam yang berdiri di atas panggung. Ketiga level ini kadang berusaha digunakan sebagai imaji yang membatasi gerak perempuan, dinding yang harus dirobohkan maupun sebagai beban yang harus dipikul. Namun imaji-imaji ini tidak cukup mendapatkan ruangnya, karena koreografi lebih banyak terfokus semata-mata untuk mengkoreografi gerak. Ruang akhirnya jatuh: diperlakukan semata sebagai tempat untuk bergerak atau menari.

Mencari Gerak Organik
Mungkin ada baiknya mempertanyakan kembali sesuatu yang fundamental dalam dunia tari: “apakah sebenarnya yang dikoreografi seorang koreografer?” Pertanyaan ini menjadi mendasar tidak hanya dalam melihat pertunjukan 2 W di atas. Tetapi terutama untuk kawasan seperti Jawa Timur yang kaya dengan khasanah seni tradisi. Khasanah ini merupakan medan penciptaan untuk pembentukan tubuh-tari maupun laboratorium kerja koreografi. Teknik tari Remo dari Jawa Timur, dan berbagai teknik lain tari tradisi Jawa Timur, membentuk sedemikian rupa bola-bola imaji yang membaur dengan teknik tari modern dalam pertunjukan yang dikoreografi Ninin dari Lamongan, Widya Fitri Susanti dari Ponorogo maupun Agus Gepeng dari Sumenep.

Seluruh penari Ninin menggunakan bakul rajutan bambu untuk mewakili ikon pertunjukan yang mengangkat tema perempuan-perempuan penjual nasi Buran di Lamongan. Tetapi tidak ada hubungan argonik antara bakul dengan pola-pola gerak yang dipilih: bakul bisa diganti dengan benda apa pun. Penggunaan benda-benda pertunjukan yang tidak memiliki hubungan organik dengan gerak ini, juga berlangsung dalam pertunjukan Agus Gepeng yang mengangkat tema Rokat Polae, ritual rakyat Madura untuk mengatasi malah- masalah ekologi di tanah mereka.

Stragtegi visual pertunjukan Agus Gepeng mulai berbeda ketika penari menggunakan 3 buah drum dan sepeda. Materi ini lebih tampak memiliki hubungan argonik dengan pola gerak yang dgunakan dengan cara memukul, menendang atau menggulingkan drum besi itu.

Apa yang sebenarnya terjadi ketika pola gerak dalam tari tidak memiliki hubungan organik dengan materi visual yang mereka gunakan sendiri? Hingga gagasan pertunjukan seperti tidak mendapatkan ruangnya dalam pertunjukan tari yang mereka lakukan? Gagasan pertunjukan mereka seperti tetap tertinggal dalam sinopsis. Dan tidak mendapatkan realitasnya di atas pentas. Tema menjadi seperti hanya menempel, tidak mendapatkan interiorisasinya dalam ruang tari yang mereka koregrafi.

Musik yang Mengkoreografi Tari
Ritme, hitungan gerak yang sama seperti hitungan ketukan dalam musik, memang banyak digunakan dalam kerja koreografi yang dilakukan banyak koreografer kita. Pada satu sisi, model kerja seperti ini tampak unik: ternyata banyak karya tari yang dikoreografi melalui model kerja musik. Berarti, koreografi sesungguhnyanya juga terbuka dilakukan melalui model kerja apapun: senirupa, puisi, dan berbagai disiplin lainnya.

Namun pada sisi lainnya, model kerja korografi seperti ini cenderung membuat koreografi menjadi mekanik dan penari menjadi robot-tari yang melayani ritme ketukan. Tidak memiliki ruang untuk membangun momen, karakter maupun pengembangan imaji ruang dan waktu. Tubuh-tari hanya diperlakukan sebagai tubuh-teknik. Gerak tari seperti disusun hanya untuk memenuhi struktur dan durasi. Penonton hampir tidak menemukan peristiwa maupun momen pembacaan.

Peristiwa dan momen diganti dengan konfigurasi bentuk sebagai simpul penutup adegan atau penutup akhir pertunjukan. Susanti, dalam karyanya Sangga Langit, melakukan permainan bloking yang paling dinamis dibandingkan pertunjukan lainnya, di samping gerak tari Bali untuk aksentuasi bentuk. Dinamika yang menjadi lebih tajam melalui kostum penari yang seragam dengan motif garis-garis mirip warna-warna Reog (merah, hitam, putih). Tetapi dinamika ini, gerak-gerak kelompok dalam garis-garis diagonal maupun simetris, tetap tidak menghasilkan pembacaan.

Evita Lulut dari Lamongan, yang mementaskan Anfal, sebenarnya juga bekerja seperti yang lainnya melalui ritme ketukan. Tetapi Evita mampu mengatasi resiko mekanik dari cara ini dengan pembentukan alur yang memiliki jeda, dan memberi ruang terhadap karakter emosi yang dibangunnya. Emosi yang diarahkan ke jari-jari tangan atau kepala; bentuk-bentuk menutup mata, hidung atau mulut; tarikan 3 tubuh penari ke titik-titik terjauh dari luas panggung pertunjukan; serta opening yang menyisir bibir segi empat panggung, ikut membentuk gelombang-gelombang imaji yang dibangun Evita. Pertunjukan yang ingin mengatakan bahwa kita berada dalam realitas sosial yang sakit.

Mengkoreografi Konteks
Pertunjukan yang menggunakan basis tradisi, seperti yang dilakukan Susansi, Ninin atau Agus Gepeng di atas, memang pada akhirnya bisa dilihat sebagai pertunjukan dimana kerja koreografi lebih difokuskan kepada teks (bentuk-bentuk gerak tari), dengan melepaskan konteks. Pertunjukan mereka akan menjadi lain kalau mereka memusatkan koreografi kepada konteks: Ninin mengkoreografi pasar, misalnya, dan bukan semata penari yang membawa bakul nasi; Agus Gepeng mengkoreografi gagasannya tentang masalah ekologi di Madura, dan bukan semata penari yang membawa sesajen untuk ritual lingkungan yang mereka lakukan.

Menurut Hari Lentho, seorang koreografer dan organiser seni di Surabaya, dunia tari kini memang harus memiliki strategi pembacaan lain terhadap tradisi. Tidak semata hanya mengganti-ganti kostum dan bloking yang tidak jelas hubungannya dengan teks tari tradisi yang mereka koreografi.

Ketika sebuah kerja koreografi terbuka kepada realitas lain, bahwa tubuh-tari tidak semata-mata tubuh-teknik atau tubuh-studio, maka membaca kembali tradisi melalui tubuh-biografis penari, dalam eksplorasi yang mereka lakukan, sama dengan membuat hubungan yang aktual dengan tradisi. Setiap batas antara tari dengan bukan tari dilihat kembali sebagai ruang kemungkinan untuk pengembangan kerja koreografi. Bahwa batas ambang tari, antara konteks dan teks, menjadi medan kerja koreografi dimana sebuah pertunjukan tari seharusnya juga menghasilkan wacana pembacaan.

Seluruh pertunjukan di atas berlangsung dalam Pekan Penata Tari Muda Jawa Timur, di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya (20-22 Juli 2011). Forum yang digagas sebagai “klinik tari”. Di antaranya juga tampil karya M. Harianto dan tari berbasis balet karya Aprilia.

***

Sumber: CanManage.Net

Bertemu Afrizal Malna; Bicara Seni Video, Teater, Sastra dan Politik Kesenian

Siapa pengamat kegiatan teater dan sastra kontemporer di Indonesia yang paling lihai? Dari sekian banyak nama yang muncul, Afrizal Malna adalah figur yang paling menonjol. Ia adalah seorang ‘aktivis seni’ yang paling tekun menggeluti persoalan kesenian dari pandangan yang banyak luput dari pandangan kita. Baginya, seni video di Indonesia kebanyakan hanyalah permainan efek-efek yang tidak punya ‘sejarah’ visual dan terjebak seperti hiburan video klip semata.

Pada suatu kesempatan, tepatnya pada 24 Juli 2011 di rumah Afrizal, Jalan Nitiprayan, Yogyakarta, Jurnal Footage mendapat kesempatan untuk ‘ngobrol’ dengan penyair plontos ini. Hadir waktu itu, Akbar Yumni (redaktur Jurnal Footage), Fuad Fauji (reporter), Manshur Zikri (jurnalis www.akumassa.org) dan seorang teman dari Yogyakarta, Tohjaya Tono (pelukis).

Berikut hasil wawancara dengan Afrizal Malna yang telah disunting di beberapa bagian untuk penyesuaian bahasa dan tidak mengurangi konten dari wawancara tersebut.

Akbar: Sebenarnya ada gak persinggungan antara video dan teater?

Afrizal: Apa ya metodenya? Terus kalau masuk ke teater. Ada apa sih modern art yang bisa dimasuki dengan kerja ‘video’? Tapi mungkin bisa begini; kerja video ke teater, output-nya bisa video, bisa teater. Tapi output-nya itu bisa saling-silang.

Akbar: Kalau sejauh ini, persinggungannya sebatas dokumentasi. Belum ada kemungkinan lain, dalam bahasa visual untuk hubungan antara video dengan teater. Apa memang belum ada?

Afrizal: Begini, keadaannya kan masih sendiri-sendiri. Gak ada komunikasi. Misalnya, Marina Abramović, yang sangat kuat dalam design (bentuk/form—red), tapi ada juga yang lain seperti kelompok Black Market di Jerman, mereka cendrung anti-design. Mereka itu seniman-seniman yang sebelumnya masuk di seni rupa. Terus mereka melihat; “Seni rupa kok jadi sombong, jadi gak manusiawi lagi? Mengejar yang serba canggih. Besar-besar. Instalasi gede-gede. Semakin jauh dari realitas kita”. Mereka akhirnya tinggalkan seni rupa. Semua disiplin seni yang sudah mapan itu—dimana sejarahnya seakan-akan sudah tidak memberi ruang lagi untuk kemanusiaan kita. Nah, sebagian anggota dari Black Market punya biografi yang seperti itu, seniman-seniman yang berada di dalam jalan buntu. Dalam disiplin ilmu masing-masing. Lalu, mereka lari ke Black Market. Di situ sebagian mereka, hidup sebagai seniman seperti ngelakoni, seperti empu-empu kita dulu. Ada juga yang memang mencari pengucapan-pengucapan lain. Mereka yang mulai memasuki pertanyaan-pertanyaan genting misalnya meninggalkan seni rupa tadi, lukisan adalah selalu peristiwa yang sudah berlalu ketika dia dipamerkan—publik hanya menyaksikan peristiwa yang mereka tidak tahu prosesnya seperti apa dan peristiwa sudah berlalu! Pertanyaan-pertanyaan itu dihadirkan untuk pendekatan kesenian dalam cara kita memandang diri kita dan untuk kita; kita sebenarnya mau ngapain? Pertanyaannya lebih kepada soal ‘hidup’. Bukan kepada kesenian itu lagi. Kesenian dianggap sudah selesai sebagai suatu sejarah teknik (techne/kepandaian—red).

Akbar: Kalau yang Marina Abramović bagaimana?

Afrizal: Kalau Marina Abramović kan, mainstream. Dia mengejar design (bentuk) yang bagus (estetik—red). Semua elemen pertunjukkan yang tergarap, fotografi-nya, semua terukur. Sudah seperti matematika.

Akbar: Lebih ke bentuk, ya?

Afrizal: Ya, ke bentuk, ke desain.

Akbar: Kalau di Indonesia bagaimana, Mas? Apa pernah lihat fenomenanya?

Afrizal: Kalau di Indonesia, performans itu punya sejarahnya sendiri. Pertama, dia lahir karena Reformasi (1998). Saat Reformasi kan teman-teman banyak yang pakai seni performans untuk demonstrasi. Warna politik dan kekerasan kuat. Warna politik dan kekerasan ini dapat dari referensi lewat tradisi kita; ada di debus, jathilan, yang mempertontonkan semacam “kehebatan”. Akhirnya cenderung seperti itu. Untuk masuk mempersoalkan wacana, bahwa seni performans harus ada… Itu sepertinya belum pernah terjadi. Kenapa dia harus ada? Apakah semata-mata suatu kemungkinan baru dalam kesenian? Atau ada pikiran lain di kita. Apakah seni performans lahir karena ruang publik kita tidak sehat? Ruang publik kita gak jelas identitasnya, atau apa? Tapi kan karena mereka (performans) sebagian keras, akhirnya publik cenderung malah takut. Jadi agresi. Beberapa yang memainkan visual, juga gak menghitung; karena orang-orang yang hadir di ruang publik pada bawa HP (telepon selular), pengen motret bersama. Begitu loh. Yang visualnya bagus, “Wah… pada potret bersama”. Akhirnya seperti itu di ruang publik.

Akbar: Kalau merujuk karya teman-teman di seni performans, misalnya ada karya-karya video performans, seperti teman-teman Ruangrupa…

Afrizal: Ruangrupa? Aku gak banyak lihat, ya. Aku terhenti melihat video tahun… Kalau tidak salah tahun 1987 atau 1988. Kami dulu punya Forum Indonesia Kecil. Terus kerja sama dengan Goethe-Institut. Bikin forum video art. Tahun 1987 atau 1988. Mengundang ahli dari Jerman sebagai pembicara. Dari Indonesia ada D.A. Peransi, dia kan pemikir pertama filem yang membawa gagasan; filem kebebasan. Saat Itu D.A. Peransi sudah sakit-sakitan. Kita harus merayu dia untuk mau keluar. Forum itu cukup representatif memberi gambaran seni video. Pertama, dia (seni video) muncul karena media (video), tapi juga ditopang oleh perkembangan teori-teori semiotika Saussure (Ferdinand de Saussure—red). Ideologi mereka (seniman video—red) untuk melawan TV dan Amerikanisasi. Jadi kerangkanya kuat. Ketika masuk ke Indonesia dan teman-teman mulai masuk ke situ (seni video—red), aku kehilangan kerangka itu. Sepertinya hanya main-main efek. Aku lihat video Krisna Murti, aku pikir ini ekspresi apa sebenarnya? Ekspresi visual lewat video? Aku agak sulit membaca itu.

Akbar: Waktu diskusi tentang video (Video Vortex #7 di Kedai Kebun, Yogyakarta—red), tidak ada keluar tentang kegiatan pada tahun 1987 itu. Kalau saja Anda datang, sebenarnya bisa cerita banyak; bahwa ada sejarah sebelumnya dan ada diskusi tentang seni video di Indonesia.

Afrizal: Aku kehilangan itu. Teman-teman kayaknya main-main saja. Udah deh… Males ngikutin. Beberapa dari Ruangrupa, aku pernah menonton video yang pakai cutter, tangannya keluar darah (video Victoria The Victorian, 2002, karya Reza ‘Asung’ Afisina). Dalam seni performans, itu kan sudah muncul seperti di karya Marina Abramović juga. Kekerasan itu muncul karena ada background perang Vietnam, yaitu bagaimana perang Vietnam memindahkan kekerasan itu ke televisi. Publik menyaksikan kekerasan itu layaknya hiburan. Akhirnya, kekerasan itulah yang dibawa keluar oleh seniman, supaya orang-orang (masyarakat) bisa kembali merasakan sakit. Ada alasan-alasan yang seperti itu. Nah, ketika teman memainkan kekerasan itu di seni video saat ini, aku gak tahu konteksnya. Aku merasa punya hak untuk mencari konteksnya tadi. Kecuali kalau aku nonton seni video seperti nonton klip-klip nyanyian (musik klip/video). Ya… Seperti itu. Terus aku agak males ngikutin. Di Langgeng (Ruang Langgeng Art Foundation, Yogyakarta), kan kemarin ada Selamatan Digital, untuk opening-nya. Aku hanya nonton pertunjukan di luar, Wayang Kampung Sebelah. Wayang Kampung Sebelah menurut aku, lebih keren.

Akbar: Ya. Saya membayangkan diskusi antar lintas disiplin, konteks teater di video. Dalam bayangan saya kan, perjumpaan itu mungkin di video performans. Sejauh ini belum ada perbicangan serius antar lintas displin untuk mendiskusikan hal ini. Makanya, perbincangan silang antara seni rupa dan teater, kalau asumsi saya pribadi, ada pada seni performans. Pertanyaan saya selama ini adalah batasan itu. Mas Afrizal bisa cerita sedikit, awal-awal kelahiran seni performans di Eropa dan Indonesia?

Afrizal: Aku tidak tahu banyak. Aku tahu potongan-potongannya saja, karena Forum PALA (Performance Art Laboratory), yang diprakarsai oleh Melati Suryodarmo, kalau gak salah ya… Sudah berlangsung lima tahun. Dia mengundang seniman-seniman performans yang cukup representatif dari Asia, Eropa, maupun Amerika setiap tahun. Terus di PALA ini menarik, karena mereka seperti laboratorium bersama; saling sharing, bagi pengalaman. Mereka mementingkan apa artinya sebuah pertemuan untuk seorang seniman. Kemudian representasi ini masuk ke forum Undisclose Territory. Setelah sharing mereka aksi di ruang publik. Di publik pun terbagi dua; ada aksi kolaborasi dan ada aksi karya sendiri. Fenomenanya (perfomans —red) macam-macam lah. Banyak teman-teman yang agak kesulitan untuk menikmati mereka. Karena sebagian besar memang mereka sudah tidak memerlukan dekorasi, tidak memerlukan salon, seadanya. Bahkan sekarang, ada gerakan yang sudah tidak tergantung lagi sama materi apa pun, hanya dengan tubuh sendiri. Nah, yang menarik di situ ada orang Indonesia, bekas seorang sutradara Teater Sae, Budi Otong, yang dilakukan mereka menurutku keren, kalau mau aku bisa kopi-in (gandakan) salah satu videonya.

Akbar: Ada perbincangan tentang penggunaan video dalam pertemuan itu?

Afrizal: Mereka ini masyarakat yang pasca itu, yang sudah gak tergoda lagi sama gitu-gituan. Malahan, hampir tidak ada yang pakai (video) sekarang ini.

Akbar: OK, agak bergeser pertanyaannya, gak apa-apa ya? Dari yang saya baca buku terbaru Mas Afrizal (Perjalanan Teater Kedua), mungkin buku yang cukup militan, karena Mas Afrizal menyempatkan diri mendatangi beberapa pertunjukkan di beberapa daerah dalam beberapa tahun.

Afrizal: Pakai duit sendiri…(tertawa)

Akbar: Dalam membaca teater memang kita harus ada dalam peristiwa itu. Sesungguhnya, teater modern di Indonesia itu dimulai tahun berapa? Atau istilah itu penting atau gak?

Afrizal: Istilah itu sebenarnya bagian dari kolonialisme. Sampai sekarang kita jadi kesulitan. Misalnya, saat kita masuk ke seni rupa kontemporer; hanya lima jam naik kereta kita sampai di Mojokerto, dan lihat peninggalan Majapahit, karya perak yang luar biasa dan karya patung. Luar biasa, ya? Kita kesulitan mencari benang merah dari “sana” ke “mari”. Bagaimana menarik benang merah itu? Dan modernisme bukan suatu bagian dari kolonialisme, untuk memotong sejarah kita. Nah, kolonialisme itu sekaligus membuat cara berpikir kita tentang sejarah dan tradisi, seakan-akan berada di luar kita, sampai sekarang. Padahal kita duduk, ngomong, minum tradisi yang ikut bekerja. Tapi ketika kita masuk ke suatu kesenian (modern—red), tradisi sepertinya ada di luar kita. Bahkan cenderung bersikap ‘militeristik’ terhadap tradisi. Misalnya, kalau sebuah tari menggunakan ‘tradisi’, selalu seragam; kostumnya seragam, geraknya seragam, bebunyiannya pun seragam. Militeristik itu. Apakah tradisi itu seperti itu? Jadi kita tidak hanya terpisah oleh apa yang kita pikirkan tentang tradisi. Tetapi juga kita melakukan ‘militerisasi’ tradisi. Pada satu sisi juga ‘salonisasi’ tradisi; geraknya bisa apapun, yang diganti hanya “kostumnya” saja. Dan “kostumnya” tambah “wah” sampai sekarang. Kemarin misalnya, di Surabaya ada satu pertunjukan dari Lamongan. Ketika dia presentasi video, dengan karya yang sama, pakai kostum A. Ketika pertunjukkan live; tarinya sama, semuanya sama, namun kostumnya ganti yang lebih ngejreng. Aku kira itu bukan salah mereka. Jadi, kalau kita lihat kembali ke teater modern, aku melihat ‘Jathilan’ itu modern banget. Aku bertemu rombongan Kuda Lumping, ketika mengikuti Monolog Festival. Monolog di ruang publik yang diadakan oleh Federasi Teater Indonesia. Lalu bertemu dengan kelompok Jathilan yang lagi ngamen dari Jawa Timur. Mereka tidur di emperan TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta—red). Terus, sama teman-teman diajak mentas di Galeri Nasional. Teks-teks mereka ngikutin perubahan. Hubungan antara kesenian dan kehidupan mereka organik. Mereka ngamen, biasanya satu keluarga. Kalau mereka mulai panen (di kampung), akan balik lagi. Jadi, aktivitas mereka memang satu siklus; antara kesenian dan kehidupan sebagai petani organik sekali. Tapi ketika mereka pentas, jadi modern. Aku pernah nonton suatu ritual di Kalimantan Timur, Dayak Bahau. Di salah satu ritualnya ada sekian penari, bergerak dari hulu ke hilir, dari ujung kampung ke ujung kampung. Mereka bergerak dengan tempat sarung naik ke atas. Sarung itu di kasih kerangka, tinggi sekali, dan jalan. Wah… Keren sekali. Di situ aku bingung. Kita ada di depan atau di belakang ketika melihat itu ya? Kalau kita menggunakan terminologi modern itu, kita jadi sulit melihat itu. Masa depan kita ada di mana? Jangan-jangan ada di belakang. Kalau misalnya teater moderen, apa yang menandai suatu pertunjukkan itu modern dengan yang tidak modern? Kalau yang modern itu suatu prosedur yang salah satunya adalah pemberontakan; idealisme, Jathilan menurutku juga ada di situ. Ada perlawanan. Aku gak tahu hubungan Jathilan dengan tekanan Islam ke masyarakat Hindu atau ke nilai-nilai mistisisme masyarakat Hindu dan mistisisme masyarakat agraris. 

Akbar: Kalau di seni rupa ada PERSAGI (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) sebagai penanda modernisme dan juga perlawanan pada kolonialisme juga. Dalam sastra mungkin ada Pujangga Baru. Apakah di teater juga mengalami sejarah semacam itu juga? 

Afrizal: Di teater juga ada, ketika munculnya ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film) dan diikuti oleh ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Tapi ASDRAFI dan ATNI terbelah. ASDRAFI menggunakan tradisi sebagi latar seni mereka dan ATNI memasukan teori-teori teater modern, akademis betul. 

Akbar: ASDRAFI itu tahun berapa?

Afrizal: Tahun 1950an kayaknya. Kalau PERSAGI, kan ada ideologi juga yang melatari mereka, terutama pemikiran sosialisme pada waktu itu. Di ASDRAFI dan ATNI sepertinya tidak ada deh. Lebih ke Polemik Kebudayaan hubungannya, apa kita mau hidup dalam dunia tradisi atau modern, kira-kira begitu. 

Akbar: Kalau ASDRAFI itu tokoh-tokohnya atau produk karyanya apa?

Afrizal: Aku lupa.

Akbar: Kalau filem, mereka pernah memproduksi?

Afrizal: ASDRAFI itu singkatan dari Akademi Seni Drama dan Film. Aku gak tahu produknya apa. Kalau ATNI, akarnya dari Teater Maya, Usmar Ismail, yang kemudian ke filem. Lalu sampai ke Teguh Karya dengan Teater Populer, dan Asrul Sani. Itu tokoh-tokohnya. Kalau ASDRAFI, siapa ya tokoh-tokoh utamanya ya?

Akbar: Nah, kalau persinggungan teater dan filem, sejak kehadiran ATNI, bagaimana?

Afrizal: Teater dan filem sejak awal kan dekat. Terutama yang dilakukan Usmar Ismail, kemudian berlanjut Asrul Sani…

Akbar: Teguh Karya…

Afrizal: Ya… Teguh Karya… Berdekatan betul mereka.

Akbar: Sejauh mana pengaruh teater dalam filem, seperti karya Asrul Sani, yang satu di antaranya cukup kuat pengaruh ‘nuansa’ teater?

Afrizal: Mungkin bukan ‘nuansa’ teater, tapi penggarapan aktor. Sekarang kan lebih termanjakan oleh teknologi. Misalnya aku ngob rol dengan teman-teman filem, terutama sutradara, menghadapi satu gagasan langsung yang terpikirkan adalah “Ini pake lampu apa, lensa apa. Begitu di kepala mereka, yang muncul itu; langsung peralatan-peralatan, manusianya lebih ke negosiasi pasar seperti produser memilih siapa yang bisa dijual. Ada seperti itu lah. Walaupun mungkin gak semuanya. Tapi menarik, mendekatkan kembali teater dan filem.

Akbar: Fuad mungkin mau tanya…

Fuad: Udah ke ArtJog?

Afrizal: Di mana ArtJog?

Fuad: Di Taman Budaya (Yogyakarta)

Afrizal: Yang lagi pameran di sana ya? Belum… Belum. Aku lagi bosan seni rupa.

Semua: Tertawa.

Afrizal: Aku gak ngerti seni rupa sekarang.

Tono: Sampai ada kaos, “Seni Rupa Gini-gini Aja”

Afrizal: Aku harus membaca apa ya? Ini peristiwa seni atau peristiwa pasar?

Tono: Itu tadi yang Afrizal bilang seperti ada jarak antara seni rupa. Saya juga sempat ngobrol sama teman-teman, kenapa begini-gini aja?

Afrizal: Iya. Kalau gini-gini aja ngapain produksi terus.

Tono: Apa cuma segini aja?

Afrizal: Semua kayak ngejar ‘setoran’.

Akbar: Saya pernah membaca tentang Jay Subiakto, yang ditulis di Kompas dan Tempo, tentang ‘panggung miring’ dalam salah satu pementasannya.

Afrizal: ‘Panggung miring’ sebenarnya sudah lama loh…

Akbar: Nah makanya, ada diskriminasi dalam wilayah kebudayaan, yang dilakukan oleh media besar. Yang sempat saya dengar, teman-teman teater di Jakarta Utara pernah melakukan itu di tahun 1990-an. Kenapa tidak pernah fair? Pelaku-pelaku kebudayaan yang kecil pun juga pernah melakukan lebih dulu. Tapi kenapa tidak di tulis? Mas Afrizal juga pernah menjadi juru bicara bagi mereka. Ada diskriminasi terhadap wilayah kebudayaan oleh media massa di Indonesia. Apakah dalam kasus ini terus berlangsung di Indonesia?

Afrizal: Begini ya, agak tidak enak diceritakan. Saya pernah begitu rutin menulis teater, sampai akhirnya menghasilkan buku itu (Perjalanan Teater Kedua—red), sampai kemudian sebagai penonton teater, saya stagnan. Artinya, saya tidak tahu lagi apa yang harus saya tulis. Pertunjukkan-pertunjukkan itu juga tidak memancing cara-cara menonton yang lain. Akhirnya saya tidak menulis cukup lama.

Akbar: Teater ada jurnal atau medianya gak saat ini?

Afrizal: Teater sama halnya dengan seni tari. Mereka orang-orang yang menurut saya harus bekerja keras gitu. Dengan uang seadanya dan gak ada penghasilan. Ketika mereka dituntut bisa menulis diri mereka sendiri, itu sepertinya jadi gak adil. Jadi, memang harus ada pihak lain yang memperhatikan mereka. Misalnya untuk “memperingatkan diri” mereka saja. Bagaimana stigma teater di masyarakat; apakah teater di masyarakat itu masih kelihatan “kumuh, gokil, menakutkan?”. Apakah stigma itu perlu diubah atau gimana? itu saja tidak mudah untuk mengatasinya, karena banyak perubahan di masyarakat. 

Akbar: Apakah teman-teman teater di gelanggang remaja itu masih aktif?

Afrizal: Mereka aktif karena Festival Teater Jakarta (FTJ). Tapi FTJ kan juga festival yang tidak memiliki target pengembangan wacana teater. Festival itu semata-mata seperti menghabiskan anggaran yang sudah ada. Daripada anggaran itu diambil lagi sama pemerintah. Dan ketika terjadi perubahan di strategi, bagaimana festival itu diadakan, mungkin akan berhadapan dengan bagaimana b udget itu disusun. Jadi, ada masalah birokrasi dan strategi yang kadang dua hal itu tidak ketemu. Festival itu seakan-akan hanya menjalankan tradisi. Misalnya apakah festival itu setiap tahun mempunyai tema, berdasarkan entah situasi politik, tantangan wacana ke depan? Kalau pakai tema, kan mendorong terjadinya perubahan wacana. Tapi kalau gak, mungkin hanya menjalankan keharusan yang ada. Itu jadi rutin. Akhirnya, jadi ‘kejar setoran’ juga.

Tono: Festival Gamelan, bagaimana? Balik lagi yang tadi mas Afrizal bilang kondisi sosial dan politik.

Afrizal: Kayaknya agak beda. Festival Gamelan, karena tidak memilih pemenang, jadi tidak punya beban kalah. Mereka lebih berani berkarya. Tapi kalau FTJ ada motif ingin menang, dan ada ketakutan untuk “berani”. Karena kalau “berani” dianggap “sewenang-wenang”, oleh juri-jurinya. Melanggar “ini” lah, melanggar “pakem” lah, apalah… Misalnya, masalah tokoh; ada satu tokoh dalam naskah yang mereka perankan seharusnya tidak mati, dibuat mati misalnya. Itu oleh juri yang pandangannya sempit, walau pertunjukkan bagus oleh mereka dianggap menyalahi naskah. Bisa dianggap gagal. Walaupun pertunjukkannya bagus. Jadi kayak “syari’ah” begitu…

Semua: Tertawa ringan…

Afrizal: Itu memang lucu. Tapi itu terjadi. Kalau menurutku, yang sekarang kita perlukan melihat lagi konstitusi politik kita. Di konstitusi kita kan, kebudayaan di pandang sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah. Puncak-puncak kebudayaan daerah itu siapa yang melakukan? Produknya apa? Mekanismenya seperti apa? Kalau kebudayaan dalam konstitusi tetap seperti itu, kita tidak tahu mekanisme yang harus diturunkan. Negara komunitas atau negara ada orang per orang di dalamnya. Tapi kalau kebudayaan itu adalah hak seluruh rakyat Indonesia, itu jelas untuk menentukan infrastruktur dan suprastrukturnya. Nah, sekarang infrastrukturnya, ada lembaga pendidikan, Dewan Kesenian, Taman Budaya, galeri, kita gak tahu hubungannya gimana dengan pasar itu. Bagaimana hubungannya? Terus ada b iennale dan museum. Museum yang mengkonservasi semua yang terjadi ini, didokumentasi lewat museum, dan b iennale yang mengangkat wacana. Supaya terjadi terus-menerus. Nah, ini gak ada mekanismenya. Kalau ada, Dewan Kesenian dan Taman Budaya, gimana hubungannya di dalam fenomena kesenian ini. Bagaimana seorang esais, ingin menjadi esais. Dia harus kemana? Kan gak ada. Paling hanya ada penyair; “Ohh…gue harus ngirim ke koran!”. Masak hanya ke koran? Sepertinya kalau tidak pernah dib eresin, dan pasar bertambah kuat, ya… Pasar lah yang mengambil itu semua. Kita tidak punya apa-apa dari kesenian kita sendiri.

Akbar: Kembali lagi ke tema semula, kira-kira gimana pandangan teater terhadap teknologi atau video? Apakah mereka merespon atau ada ruang bahasa baru dalam teater?

Afrizal: Mereka merespon. Tetapi responnya lebih sebagai ‘aksesoris’ saja. Kalau aku kembali ke pikiran seniman-seniman seni video jamannya Nam June-Paik, kan yang pure. Punya keinginan menggarap, ingin tahu karakter video itu apa, potensinya apa. Mereka betul-betul ingin berkarya berdasarkan seluruh apa yang ada pada kekuatan medium itu. Tapi kalau teman-teman teater (di sini), mendekati video (atau mesin), mereka lebih menggunakannya sebagai setting. Bukan misalnya gue mau mengambil ini nih, mau mengambil setting mesin misalnya ya. Tidak berusaha berpikir untuk menciptakan ‘teater mesin’ itu seperti apa. Apakah masih memerlukan aktor? Atau kita hanya perlu per-per (mesin) saja, yang kita sutradarai. 

Tono: Cuma sebagai background saja ya, Mas?

Afrizal: Cuma artistik. Tidak menggali mediumnya. Kalau video masuk ke teater, mungkin di kepalaku seharusnya jadi teater video. Seharusnya, ya? Jadi kaya…

Akbar: Tapi dimungkinkan gak, di dalam teater?

Afrizal: Mungkin dong! Video di teater (di sini) sama saja seperti gantiin level panggung. Level sudah gak jaman. Video dan cahayanya dengan apa? Itu bukan teater video, teater mesin atau teater teknologi. Ini sama saja di seni tari. Di seni tari, misalnya mereka meng-explore perempuan-perempuan yang berdagang nasi di pasar, yang di koreografi penarinya, bukan pasarnya. Kalau orientasi ide-nya pasar, ya… Yang harus dikoreografi pasarnya. Penari kan sudah jelas. Sudah bagian dari dunia mereka. Bagaimana kalau pasarnya di koreografi? Mungkin akan berubah seni tari, kalau cara berpikirnya seperti itu. 

Tono: Agak melenceng nih… Kalau bicara soal tubuh dalam teater dan tubuh dalam filem itu ada bedanya, gak?

Afrizal: Kayaknya durasinya beda. Seperti waktu yang hidup di aktor dalam teater, dan waktu yang hidup di tubuh filem; lain.

Akbar: Mungkin bisa diulang lagi Mas, tubuh dalam filem dan teater, dan durasi itu…

Afrizal: Durasi beda. Berbeda karena dalam filem, aktor berhadapan dengan desain kamera. Kalau aktor (teater) dalam desain panggung. Jadi, dari situ ada hubungan jarak antar panggung dan penonton. Kalau dalam filem, dia diperbesar sedemikian rupa. Sehingga, kalau di teater harus melakukan acting seratus persen, di filem mungkin hanya empat puluh persen, bahkan tiga puluh persen. Terutama di dimensi waktu; berbeda. Muatan tubuh, muatan pesan yang dibawa aktor juga berbeda. Bagaimana tubuh harus menyampaikan. Dalam filem tubuh aktor bisa dipenggal-penggal, berdasarkan frame. Kalau di teater nggak, tubuh aktor tetap satu kesatuan. Kecuali mereka membayangkan struktur yang agak unik, ya… Mungkin tubuhnya bisa terpenggal-penggal lewat strategi teks dan struktur.

Tono: Monolog?

Afrizal: Atau monolog. Monolog menurutku sekarang sedang terjadi pertemuan yang sangat unik dengan seni performans. Beberapa monolog yang aku saksikan seperti; Endra Setiawan, mirip seni performans. Tapi teman-teman seni performans tetap menganggap itu monolog. Monolognya dilakukan dengan teori acting yang sangat sederhana. Dia masuk bersama penonton, penonton tidak tahu bahwa dia aktor, tiba-tiba dia mulai sedikit-sedikit ngikutin penonton yang jadi targetnya. Mulai meniru semua tindakan penonton yang dia ikuti. Dari situ dia mulai melakukan pengembangan teks dari temuan-temuan bersama penonton, sampai akhir. Jadi dia seperti mengolah teks yang ada di penonton sebenarnya. Diolah sedemikian rupa dengan segala siasat yang dia siapkan.

Akbar: Kalau soal pewacanaan di teater gimana, Mas? Pernah ada terjemahan tentang Stanislavsky, Grotowsky, dan Brecht.

Afrizal: Sekarang, teater-teater kampus wacana menjadi kuat. Mungkin karena teater memiliki banyak beban, dan tekanan. Jadi, mereka masuk ke workshop-workshop acting yang formal. Teater Kampus betul-betul memperlakukan teater seperti sekolahan.Sehingga mereka lupa bahwa sebenarnya mereka bisa membuat teater dari fisika, biologi, sesuai dengan studi mereka masing-masing. Tapi karena mereka mengikuti workshop-workshop acting yang formal, akhirnya mereka kayak membangun diri mereka akan  seperti seorang aktor. Bukan sejumlah aktivis kampus yang menggunakan teater sebagai pengalaman mereka memasuki kesenian. Dan bagaimana kesenian itu seharusnya berguna lagi bagi mereka masuk ke disiplin mereka. Kalau mereka dari fisika, menurutku seharusnya mereka berpikir bagaimana fisika menjadi sebuah pertunjukkan. Menurutku itu bisa jadi keren. Jadi, kalau ada workshop teater dibawa ke disiplin mereka masing-masing, sehingga teater ada sumbangan untuk mereka dan disiplin mereka juga ada sumbangan buat teater. Sekarang kan semua nya kayak diformulakan. Kalau diskusi dengan mereka, pertanyaan mereka standar, “Bagaimana buat puisi yang baik dan benar”. “Bagaimana buat teater yang baik dan benar”. Itu berarti budaya pendidikan kita membawa mereka berada pada posisi yang seperti itu. Posisi yang tidak berani menjadi “yang lain”. Menurutku teater penting karena belajar menjadi “yang lain”. Berusaha mengerti “yang lain” itu apa. Supaya kita gak seperti “agama” yang nyalah-nyalahkan yang bukan agama kita.

Akbar: Kalau wacana teater di filem kita gimana, Mas? Kalau dulu kan pernah ada sutradara Jerman mengeksplorasi penggunaan Brecht pada karya-karyanya, seperti Fassbinder.

Afrizal: Iya…seperti Woyzeck (Werner Herzog, 1979—red)…

Akbar: Ya…

Afrizal: Sepertinya belum pernah. Naskahnya belum kuat sampai ke situ. Mungkin menarik kalau pakai naskah-naskah Putu (Putu Wijaya—red). Karena naskahnya unik. Misalnya Aduh. Kalau difilemkan, gimana ya Aduh nya Putu? Kayaknya bisa jadi keren.

Akbar: Yang dilakukan oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani, sesungguhnya teater macam apa yang mereka gunakan dalam filem mereka?

Afrizal: Teater sekolahan.

Akbar: Oh begitu.

Afrizal: Mereka teater sekolahan. Teater etnis. Etnis maksudnya pendekatan kebudayaan; naskah setting apa, setting-nya apa, kostum-nya bagaimana. Jadi, sangat etnografis pendekatan mereka. 

Akbar: Balik ke yang tadi… sebenarnya menarik tadi yang diungkapkan tentang kelompok-kelompok Black Market sebagai kelompok di luar Marina Abramović.

Afrizal: Sekarang lagi “dipulangin” sama teman-teman seni rupa; tentang tengkorak atau apa lah… (tertawa)

Fuad: Di DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) ada video Mas Afrizal.

Afrizal: Itu aku coba mempraktekkan kerja menulis puisi ke visual. Konsekuensinya, visual kan sangat provokatif ya… Jadi, teks harus ngalah ya sama visual. 

Tono: Tapi bukannya “kekerenan” itu ada dimana-mana?

Afrizal: Betul. Agresi kayak virus. Seperti penyakit dalam diri kita. Tanpa agresi, seperti gak percaya diri. Selalu ada unsur agresi walaupun hanya untuk menghibur. Misalnya di Yogya, pembukaan pameran, biasanya pakai musik. Musik itu kan menghibur, tapi menjadi agresif karena pemainnya banyak. Pakai penari yang banyak, kayak Campur Sari. Kemarin di sini, pembukaan pameran, di agresi penyanyi yang seksi, dan rok mini. Itu agresi juga.

Semua: Tertawa…

Afrizal: Tapi itu tema yang menarik dikembangkan, kenapa agresi itu kayak penyakit yang menguasai kita semua. Kalau gak kita pakai, gak percaya diri. Kalau bahasa anak sekarang itu; “lebay”.

Akbar: Kalau dalam puisi dan visual di Indonesia, sejauhmana karya video atau filem di punya muatan seperti itu?

Afrizal: Aku melihat puisi yang sukses di buat di luar puisi itu sendiri Aduh karya Putu Wijaya. Itu menurut sebuah puisi. Kalau di filem, misalnya Garin (Garin Nugroho—red), itu menurutku bukan puisi, tapi puitisasi.

Semua: Tertawa

Afrizal: Di puitis-puitiskan.

Semua: Tertawa

Afrizal: Tapi tidak pernah menjadi puisi. Jadi, teman-teman cenderung memperlakukan puisi sebagai kata sifat. Jadi apa yang dimaksud puisi adalah sesuatu yang “puitis” lah. Puitis itu artinya ada durasi yang agak distorsi sedikit dari durasi sebenarnya.

Akbar: Yang dimaksud dengan visual yang puitik bagaimana?

Afrizal: Contoh apa ya… Yang menarik? Di festival monolog di ruang publik kemarin, ada dua contoh yang menarik. Satu monolog Adi yang betul-betul teksnya pakai puisi. Dia membacakan puisi salah satu bagian monolog yang dilakukan. Tapi ada satu mahasiswa Madura, namanya Anwari, anaknya kayak seperti autistik. Di ending-nya itu dia membawa sebuah kendi. Dia menghadap sungai Ciliwung. Menghadap ke kendi. Dipukulkan ke kepalanya, jatuh (pecahan kendi) ke sungai. Dalam hitungan yang tepat, ketika (pecahan kendi) jatuh, dia ikut nyeb ur. Dia tidak menunggu orang memotret. Pokoknya dalam hitungan yang tepat, ketika jatuh, nyeb ur, langsung hilang. Air sungai tinggal sedikit riak, pas tinggal riak-riak, kepalanya muncul, hanya kepala, pleng… Kalau teman-teman penyair yang membuat video dari puisinya, juga akhirnya jadi klip saja. Mereka seperti mengilustrasikan kata jadi gambar.

Akbar: Tapi sejauh mana kata menjadi jembatan visual itu? Apakah itu dimungkinkan?

Afrizal: Kalau misalnya puisi divisualkan, dan kalau sebenarnya visual itu intinya sama dengan kata itu. Misalnya api, visualnya api betulan.

Akbar: Pengulangan ya…

Afrizal: Pengulangan itu menurutku aneh. Gak ada alasan untuk membuat itu. Jadi (mereka) gak percaya sama kata… (tertawa)… Jadi cerewet… Dan genit.

Akbar: Kalau tadi puisi tidak selalu menjadi kata sifat, seharusnya menjadi apa?

Afrizal: Ya… Menurutku harus menjadi sebuah kehadiran, bukan kelihatan rekayasanya atau siasatnya. 

***

Tentang Afrizal Malna
Lahir di Jakarta pada 7 Juni 1957. Adalah seorang penulis prosa, puisi, pertunjukan teater dan esai yang yang paling produktif di era akhir 1980an dan tahun 1990an. Menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (tidak selesai). Sebagai penyair, ia pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam Belanda tahun 1995. Tak terhitung tulisan berupa puisi, cerpen dan esainya dimuat di berbagai media massa antara lain; Majalah Horison, Harian Kompas, Berita Buana, Repub lika, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Surab aya Pos, Pikiran Rakyat dan lain-lain. Ia juga menulis pengantar untuk kumpulan puisi para penyair Indonesia. Sejumah penerbitan buku yang memasukan Afrizal Malna di dalamnya dan buku karyanya sendiri antara lain; Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan Sastra Kontekstual (1986), Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991), Dinamika Budaya dan Politik (1991), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Pistol Perdamaian (1996), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari Pembaca Yang Tak Bersih (2000), Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, Kumpulan Prosa (2003), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (2004) dan Lubang dari Separuh Langit (2005). Pada tahun 2011, Afrizal Malna menerbitkan buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata.

Esai Afrizal Malna: Performance Art dan Selembar Daun Kering yang Ditanam dalam Kenangan

Performance Art dan Selembar Daun Kering yang Ditanam dalam Kenangan


Oleh Afrizal Malna

Selamat pagi, kawan-kawan. Untuk pertemuan ini, dalam program Undiscloused Territory #5, saya akan  membicarakan 3 hal di sekitar apa yang saya pikirkan tentang performance art dalam lingkungan PALA (Performance Art Laboratory Project. Untuk saya, PALA merupakan forum penting untuk melihat apa yang kita kerjakan dan apa yang kita pikirkan tentang performance art. Presentasi dan open session yang dilakukan dalam forum ini menghasilkan laboratorium bersama untuk metode maupun pewacanaan performance art  yang dilakukan oleh seniman-seniman performance art yang mengikuti forum ini.

Saya juga akan membicarakan performance art dalam konteks Indonesia. Saya memasukkan tema ini dalam pembicaraan di sini, karena performance art di Indonesia tumbuh dan berkembang dalam konteksnya sendiri. Dan membuatnya memiliki gambaran sedikit berbeda dengan, misalnya, performance art yang dilakukan oleh seniman-seniman dari Eropa yang memiliki akar berbeda. Di samping itu, saya juga akan membicarakan performance art dalam konteks bahasa, terutama karena saya seorang penyair. Saya menggunakan tahu dan ikan teri (ikan asin kecil yang telah dikeringkan) untuk membantu saya memvisualkan pembicaraan ini. Tanpa ikan teri, banyak orang miskin di Indonesia mungkin tidak bisa hidup.

Selanjutnya, tentu saya akan bergantung sepenuhnya kepada Melati Suryodarmo untuk menterjemahkan pembicaraan ini ke dalam bahasa Inggris. Terimakasih, Melati. Dan maafkan saya untuk lalu-lintas dua bahasa yang melelahkan ini, karena pembicaraan ini harus dilakukan terlebih dulu melalui bahasa Indonesia untuk sampai ke bahasa Inggris. Tulisan ini mencoba menyalin kembali pembicaraan yang telah saya lakukan tanpa teks tertulis, dan menjadi lebih panjang karena perbedaan mendasar antara bahasa lisan yang lebih langsung, dengan bahasa tulisan yang harus mematuhi kaidah-kaidahnya sendiri. Di samping juga menjadi lebih panjang, karena saya melengkapinya dengan catatan-catatan yang saya buat atas seluruh pertunjukan performance art yang berlangsung dalam Undiscloused Territory #5 yang saya amati.

Performance Art dari Yuda Coklat 
Performance Art dari Angie Seach

Performance Art dari Yuenjie Maru

Performance Art dari Guh S. Mana

Performance Art dari Melati Suryodarmo
Performance Art dari Iwan Wijono

Ambang Batas di Luar dan di Dalam Kesenian
Kesenian membutuhkan tempat untuk menyatakan dirinya dalam bentuk ruang pameran maupun ruang pertunjukan (ruang tertutup maupun ruang terbuka). Tempat itu kita katakan bukan-karya-seni. Tetapi ketika karya-seni mulai kita tempatkan di sana (panggung, ruang pameran, ruang publik maupun ruang terbuka lainnya), bagaimana bisa kita tetap mengatakan bahwa tempat itu “bukan-karya-seni” walau “karya-seni” itu telah ditempatkan di sana? Kenapa kita tidak melihat adanya hubungan antara keduanya, dan batas ambang itu menjadi cara kita membaca kesenian, sebagai strategi lain untuk membaca karya seni yang telah dihadirkan? Bahwa karya seni itu tidak pernah ada tanpa adanya tempat yang cocok untuk menghadirkannya. Karya-seni bergantung secara fundamental kepada tempat atau ruang untuk menghadirkannya. Ambang batas antara keduanya merupakan ruang-antara, tempat kita memikirkan kembali hubungan karya seni dengan diri kita sendiri.

Seorang seniman yang memperlakukan kesenian sebagai kebenaran, cenderung tidak memberikan toleransinya terhadap ruang-antara dalam wilayah batas ambang itu. Seluruh hidup dan pikirannya diletakkan dalam kesenian. Kesenian menjadi pusat konsentrasinya. Ia tidak pernah membaca maupun bekerja pada batas ambang itu. Kecenderungan yang terjadi kemudian, si seniman akan terpenjara dalam teknik dan pencanggihan yang dilakukannya. Ia tidak pernah tahu bahwa keseniannya telah terkubur dan mati dalam teknik dan pencanggihan itu. Ia menerima begitu saja bahwa kesenian merupakan profesi dan identitasnya. Ia harus melakukan pembesaran, distribusi, promosi dan penggandaan untuk melanjutkan keseniannya. Si seniman akan membuat sesuatu yang lebih besar lagi dan lebih besar lagi, sehingga karyanya tidak ada hubungannya lagi dengan kehidupannya sendiri dan kehidupan kita. Kesenian kemudian menjadi kesombongan baru. Kita tidak bisa lagi mengukur karyanya dengan kemanusiaan kita. Ia menjadi kapitalisme lain dalam bentuk karya seni. Ia akan lebih menjaga pasar untuk karyanya daripada batas ambang itu.

Seorang seniman yang tetap berdiri dan bekerja pada batas ambang itu menjadi penting. Karena ia akan terus bekerja dan berpikir dalam kaitannya dengan dunia di sekitarnya, dan memiliki ruang yang lebih besar untuk melakukan updating. Batas ambang ini akan terbuka manakala si seniman tetap menggunakan mata-pertama untuk berkarya dan mata-kedua untuk membaca. Mata-kedua ini bisa ikut tertopang lewat bantuan kritikus, kurator maupun dramaturg yang membantunya dalam evaluasi dan perencanaan kerja keseniannya dengan cara mereka masing-masing. Mata-kedua yang mengalami kehidupan sehari-hari sebagaimana ia menjaga rasa herannya atas kehidupan yang berlangsung setiap hari.

Performance art untuk saya merupakan gerakan yang berusaha keluar dari ketegangan maupun konflik pada batas ambang itu, paling tidak dalam lingkungan PALA yang saya ikuti selama 3 tahun berturut-turut (2008, 2010, 2011). Seniman-seniman performance art seperti Waldemar Tatarczuk (Polandia) dan Alastair MacLennan (Irlandia) misalnya, keduanya sebelumnya pelukis; Kurt Johannessen (Norwegia) sebelumnya seorang penyair; Andrea Saemann (Switzerland) tidak pernah cocok di bidang-bidang seni mainstream dan lebih menemukan dirinya dalam performance art; Boedi S. Otong (BOT) dari Indonesia/Switzerland sebelumnya seniman teater; sebagian yang lain pernah bekerja sebagai seniman tari dan musik. Mereka yang meninggalkan seni mainstream dan lebih mendapatkan ruangnya dalam performance art merupakan bagian dari fenomena gerakan ini.

Gerakan yang tentu dipengaruhi oleh kebutuhan pertemuan antar disiplin dan antar manusia dengan background maupun akar budaya masing-masing. Gerakan yang menjadikan semua yang paling dekat dengan dirinya (tubuh, material maupun tempat) sebagai aksi dan strategi performance art yang mereka lakukan. Mereka cenderung memecah sifat karya seni itu sendiri yang centring menjadi decentring, yang-dilihat menjadi yang-bertemu. Gagasan tidak lagi diantar melalui teknik, melainkan melalui intensitas dan kecerdasan. Teknik cenderung menjebak seniman ke dalam kerja otomisasi dan posisi defensif dalam berkarya.

Bahasa Pertama dari Tubuh
Tubuh menjadi bahasa pertama dari aksi performance art yang mereka lakukan. Tubuh sebagai terminal untuk berbagai pertemuan yang mungkin dilakukan. Baiklah. Tubuh menjadi transportasi untuk perjalanan dan perpindahan (penanaman doktrin terhadap tubuh adalah penjajahan atas tubuh). Begitulah. Tubuh digunakan untuk bertemu kembali dengan kenangan, dan merajutnya dalam rahasia. Hati-hati. Tubuh memainkan jarak untuk terjadinya interaktif maupun interpasif, keintiman, tumbuh dan memberi. Jangan membawa gunting.

Tubuh mengubah filsafat menjadi yang dilakukan dan dialami, bukan yang dipikirkan dan diyakini. Cobalah. Tubuh mengubah kesenian menjadi yang sedang terjadi dan bukan yang sudah berlalu. Silakan. Personalisasi atas tubuh menjadikan tubuh terbuka untuk bekerja antar individu dan budaya, bertemu secara personal dengan bahasa, dan mengalami tubuh arkhaiknya. Selamat pagi. Boedi S Otong (B.O.T) dalam PALA 2008, mengandaikan yang mereka lakukan dalam performance art seperti “masyarakat baru” yang sedang melakukan goblok-goblokan dalam kesenian. Goblok-goblokkan untuk kembali bisa heran kepada apa artinya “manusia yang bertindak dalam kesenian” dan bukan bertindak “atas nama kesenian”? Terimakasih, Boedi.

Kira-kira begitu pewacanaan yang berlangsung dalam 2 program performance art saling terkait antara PALA (Performance Art Laboratory Project) dan Undisclosed Territory yang telah berlangsung lima edisi (2007-2011). Kini saya akan membicarakan dua pembicaraan saya lainnya (performance art dalam konteks Indonesia dan hubungannya dengan bahasa) melalui PALA dan Undiscloused #5 yang saya amati. Keduanya berlangsung di Padepokan Lemah Putih, Karang Anyar, Jawa Tengah, 22-26 April dan 30 April-1 Mei 2011.

Kenangan dan yang Tak Kembali Lagi
Sekumpulan batu es dalam ukuran kecil dituang ke lantai dari dalam karung plastik. Waldemar Tatarzcuk dari Polandia, duduk bersila membelakangi cermin besar berbingkai ukiran, mirip sebuah jendela. Ia lalu melempar sebuah batu besar ke arah kumpulan batu es hingga timbunan batu es itu berantakan, memecah ruang.

Kemudian Waldemar mulai menyusun batu-batu di atas serakan batu es itu. Mempertemukan dua batu yang saling berlawanan: antara batu berwarna hitam, padat, keras dan berat–dengan batu es yang ringan, bening dan mencair perlahan-lahan. Cermin lalu didekatkan, diletakkan berdiri menutupi tumpukan batu itu dan tubuh Waldemar sendiri. Kini penonton hanya bisa melihat bagian belakang cermin yang berlapis kayu. Waldemar duduk berhadap-hadapan di antara tumpukan batu dan cermin. Lalu batu-batu itu mulai dilempar ke arah berlawanan, terus-menerus hingga tumpukan batu itu habis. Setiap lemparan diakhiri dengan bunyi bel yang dipukul dengan halus.

Waldemar sebelumnya seorang pelukis. Dia meninggalkan seni lukis, karena merasa setiap melukis seperti telah membunuh seseorang, membekukan kehidupan seseorang. Performance art baginya membawa persoalan waktu yang lain. Setiap aksi yang dilakukannya dalam performance art baginya menjelma menjadi peristiwa yang telah berlalu. Rasanya seseorang ikut mati dalam peristiwa yang telah berlalu itu. Melupakan, baginya menjadi penting dalam berhadapan dengan kenyataan: bahwa setiap yang dilakukan manusia selalu berakhir sebagai tindakan yang telah berlalu. Tindakan dan peristiwa yang tak bisa kembali lagi. 

Melempar batu secara terus-menerus ke arah berlawanan dalam pertunjukannya itu, seperti pernyataan tentang yang selalu-berlalu dan berlalu berulang-ulang. Repetisi tentang “yang-selalu-berlalu” itu, yang sangat provokatif baik karena bentuk maupun suara batu yang jatuh di lantai dalam pertunjukannya, sebenarnya kemudian terdokumentasi dalam benak penonton. Suara batu yang dilempar dan bunyi bel halus setiap lemparan batu dilakukan, juga menghasilkan imaji seperti ada sesuatu yang runtuh dari dalam tubuh seseorang. Melahirkan strategi pembacaan lain terhadap pertunjukan Waldemar itu. Yaitu tubuh yang dibersihkan dari doktrin maupun nilai-nilai yang ditanamkan dan telah membantu dalam tubuh.

Marilyn Arsem dari USA bertolak dari pandangan berbeda. Dalam presentasinya, dia memberikan 3 daun kering kepada 3 peserta PALA. Ia kemudian mulai menggali tanah. Lalu meminta komentar kepada ketiga penerima daun kering itu tentang daun kering yang kini sudah berada di tangan mereka masing-masing. Setelah komentar disampaikan, Marilyn meremas daun kering itu, lalu menguburnya ke dalam tanah yang tadi digalinya.

Cara itu dilakukannya, dilatari anggapan bahwa hidup itu baginya begitu singkat. Karena itu bertemu dengan kenangan atau membuat kenangan untuknya menjadi berarti. Kenangan akan tetap hidup setelah ia dinyatakan. Presentasinya itu untuk memperlihatkan bagaimana kenangan dibuat dalam jarak yang intim, dan merajut hubungan rahasia dengan ke tiga penerima daun kering itu lewat kenangan tersebut. 

Menciptakan kenangan dan mengubur kenangan dalam rajutan rahasia, dalam pertunjukan Marilyn (Undiscloused Terretory #5), mirip dengan peristiwa melahirkan. Pertunjukan dilakukan Marilyn dalam timbunan daun-daun jati kering. Beberapa daun jati kering digantung untuk menciptakan imajinasi ruang yang seakan-akan memiliki beberapa layer. Marilyn kemudian memasukkan tangannya ke dalam timbunan daun kering itu dan menarik daun kering dari dalam timbunan (seperti proses melahirkan daun kering dari dalam timbunan daun kering itu sendiri). Daun kering itu kemudian dilipat, dijadikan abu, lalu dikubur. Pertunjukan terus berlangsung seperti itu, seperti proses melahirkan, menyimpan, menghancurkan dan menguburnya kembali. 

Konsep menciptakan atau menemui kembali kenangan, dilakukan Marilyn seperti tindakan mengubah sejarah menjadi biografis. Semua aksi dalam pertunjukan memang menjadi peristiwa yang berlalu. Tetapi ia tidak hilang. Ia tersimpan dalam kenangan penonton yang dijalin selama pertunjukan berlangsung. Dan tidak bisa dihapus kembali setelah ia hidup dalam kenangan.

Pertemuan dan Perpindahan
Sandra Johnston dari Irlandia menggunakan material air mineral dalam gelas plastik. Gelas diletakkan terbalik di atas telapak tangannya. Air mulai menetes di antara sela-sela jari tangannya hingga habis. Gelas plastik itu mulai diremasnya. Dan tiba-tiba dalam gerakan cepat, gelas yang sudah diremas-remas itu dimasukkan ke dalam mulutnya. Sandra kemudian meletakkan kepalanya di atas tanah becek. Sebagian tubuhnya masih tertinggal pada undakan lantai salah satu pendopo di Padepokan Lemah Putih. Hujan sedang turun. Air hujan menetes ke dalam mulutnya yang sudah tersumbat gelas plastik. Dan lumpur dari tanah becek itu kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya.

Pertunjukan Sandra itu seperti menjadikan tubuhnya sebagai terminal untuk berlangsungnya pertemuan antara gelas plastik (produk pabrik) dengan alam (hujan dan lumpur). Sebuah pertunjukan yang juga bisa dibaca bagaimana industri memperkosa tubuh kita. Prinsip pertemuan dan perpindahan itu, antara benda dan tubuh, dilakukan Sandra dengan gerak dan gestur tubuhnya yang unik, mirip laba-laba yang menunggu mangsa di antara tekukan kaki dan tangannya. Tubuh yang rasanya belum ada namanya.

Prinsip pertemuan dan perpindahan itu berlangsung intens, intim, dilakukan Boris Nieslony (Jerman) bersama Sandra Johnston. Pertunjukan mereka dilakukan dalam sebuah celah saluran air yang sedang kering. Kantung celana Boris berisi butir-butir beras. Butir-butir beras itu satu-persatu mulai dipindahkan Boris ke tangan Sandra dengan gerakan halus antara jari jempol dan jari telunjuk yang menjepit sebutir beras, terkontrol, hingga seluruh butir-butir beras itu berpindah satu-persatu ke tangan Sandra. Menjadi irama dan menjadi puisi yang berlangsung terus-menerus tanpa akhir. Pertunjukan dilakukan hampir sepanjang 4 jam dengan posisi yang tidak berubah, seperti patung yang hanya tangan mereka yang bergerak. Kedua tangan mereka seperti saling menyalin kembali gerak tangan yang telah mereka hasilkan.

Dalam strategi yang lain, perpindahan juga menghasilkan sesuatu yang berubah, tumbuh dan ditandai. Alan Schacher dari Australia menggunakan undakan-undakan semen yang terdapat dalam Padepokan Lemah Putih, tempat pertunjukan dilakukan. Alan memulai aksinya dengan membersihkan tanaman liar yang tumbuh di atas undakan-undakan semen itu. Tanaman liar itu dimasukkan ke dalam kantong plastik. Gerak mulai tercipta ketika Alan mulai membersihkan undakan itu dari lapisan tanah yang menempel pada badan undakan itu dengan kedua tangannya yang seperti dilempar ke udara setiap tangannya sampai pada batas ujung undakan semen.

Alan kemudian mengenakan sarung dan kemeja lengan panjang berwarna biru gelap. Dimensi pertunjukannya mulai berubah ke arah tindakan ritual. Ia mulai memainkan batu dalam jarak pendek di atas undakan itu. Merebahkan tubuhnya di atas undakan dengan batu diletakkan di atas dadanya. Pertunjukan berakhir dengan cara Alan melepas kembali sarung dan kemeja lengan panjangnya, dan memasukkannya ke dalam plastik yang berisi tanaman liar dari undakan yang dibersihkan sebelumnya. Kantung plastik itu ditiupnya hingga menggelembung. Lalu mengikatnya dan meletakkannya di ujung undakan semen yang telah bersih itu.

Perubahan ditandai dari undakan-undakan yang kotor menjadi bersih; dari pakaian pekerja yang dikenakan Alan sebelumnya menjadi pakaian seperti seseorang yang akan melakukan semhbayang dengan sarung; dari kantung plastik kosong kemudian diisi tanaman liar, sarung dan kemeja lengan panjang yang dikenakan sebelumnya. Pikiran ikut bekerja dari layer-layer aksi yang berubah dari aksi pertama ke aksi berikutnya. 

Perpindahan dan perubahan memang banyak digunakan sebagai metode dalam performance art, hampir menjadi konvensi yang cenderung melembaga dalam aksi performance art itu sendiri. Angie Seah dari Singapura mengubah bidang 2 dimensi menjadi 3 dimensi. Pertunjukannya menggunakan kain putih sebagai layar. Sorot lampu di belakang layar mengubah Angie menjadi bayangan. Bayangan itu mulai menyemprotkan air ke bidang layar kain putih itu. Air mulai merembes dan membuat aliran dari lelehen air pada bidang layar itu. Kemudian Angie mulai membuat garis-garis merah di atas kain yang sudah basah itu. Semua ini dilakukannya sambil bernyanyi yang juga mirip seperti mantra.

Bidang 2 dimensi itu mulai berubah menjadi 3 dimensi ketika Angie mulai membuat sayatan dan sobekan memanjang pada kain layar itu. Lampu dari belakang menerobos langsung, keluar melalui kain layar yang sudah berlubang-lubang memanjang itu. Sebagian sosok Angie juga mulai terlihat langsung melalui dan mengikuti lubang-lubang memanjang itu, di antara bayangan bagian dari tubuhnya yang lain yang masih tersisa. Pertunjukan ini seperti belum selesai, masih menyimpan persoalan yang tak teratasi antara perubahan dari 2 dimensi ke 3 dimensi.

Tubuh Kolonial dan Bahasa
Umumnya penggunaan bahasa cenderung dihindari agar performance art tidak menjadi pertunjukan drama, dan tubuh menjadi fundamental. Tetapi pada Undisloused Territory tahun lalu, unsur bahasa mulai muncul dan menjadi fenomena lain yang berjalan bersama tubuh dalam performance art. Dilakukan antara lain oleh Jacques Van Poppel (Netherland) dan Kaori Haba (Jepang). Keduanya sama-sama menarasikan tubuh-kolonial: Poppel menggunakan video pertunjukan musik rock and roll (Tilman Brothers) dari Bandung, ketika kelompok ini mentas di Belanda tahun 1958. Kaori menggunakan cerita tentang tentara muda Jepang selama pendudukan di Indonesia yang menerjemahkan nyanyian Bengawan Solo ke dalam bahasa Jepang menjadi nyanyian cinta. Keduanya mengubah sejarah menjadi biografis melalui musik dan bahasa.

Dalam Undisloused Territory tahun ini, Ray Langenbach dari USA/Malaysia, juga menggunakan bahasa. Pertunjukannya menggunakan semacam ruang tamu dengan meja dan kursi plastik berwarna merah. Percakapan dalam bahasa Thailand antara ayah dan anak ditayangkan melalui video. Percakapan ini berkisar bagaimana sejarah politik bercampur-aduk dengan sejarah keluarga. Sementara di ruang tamu, percakapan yang sama dilakukan dalam bahasa Indonesia, menggunakan presenter perempuan dan lelaki Indonesia.

Pertunjukan itu memperlihatkan fenomena tubuh Asia sebagai tubuh-kolonial yang tertanam dalam struktur politik etnis yang pernah ditanamkan pada masa kolonialisasi. Setelah kolonialisasi berakhir, struktur itu masih bekerja dalam tubuh sub-sub etnik dan reliji yang tepercah dan tidak bisa bertemu satu sama lainnya. Saling memakan satu sama lainnya setelah kolonialisasi berakhir. Tubuh kolonial yang percaya bahwa identitas terletak pada tradisi dan agama yang dan ditanamkan ke dalam tubuh mereka. Dan bukan sesuatu yang personal.

Hari menjelang malam ketika pertunjukan ini berlangsung. Dan Ray mengakhiri pertunjukannya dengan memindahkan kursi dan meja tamu dari plastik berwarna merah itu ke jalan sebuah desa, membelakangi area kuburan yang terdapat di desa itu. Dalam aksi ini Ray membakar bendera Amerika. Untuknya aksi ini merupakan akhir dari kejayaan Amerika. Lalu 10 pasang motor, masing-masing 5 motor yang dikendarai anak-anak muda desa, datang dari arah berlawanan, seperti mengepung ruang tamu di jalan desa itu. Suara dan lampu motor terdengar dan menyorot sama kerasnya. Keheningan di desa itu mulai gaduh dengan suara motor yang suara gasnya dimainkan. Asap dari knalpot motor juga mulai mewarnai udara. Motor yang seolah-olah mengancam dan akan menerkam ruang tamu itu, tiba-tiba menghindar, mencari jalan lain; tidak menyentuh sedikit pun ruang tamu di tengah jalan desa itu.

Masuknya unsur bahasa dalam performance art memiliki pengaruh yang cukup berarti: mencairkan tubuh-pertunjukan menjadi tubuh-biasa, tubuh sehari-sehari. Dan memperlihatkan bahwa performance art tidak hanya menggunakan tubuh sebagai pusat pertunjukan. Ia memecah dirinya sedemikian rupa menjadi multi-media dan multi-disiplin. Bahkan menjadi sangat minimalis dengan menggunakan aksi pasif dalam pertunjukan yang dilakukan. Seperti pernah dilakukan Alastair MacLennan dalam Undiscloused #3. Alastair melakukan meditasi dalam timbunan sampah pada pertunjukan ini. Hanya kepalanya yang tampak. Seluruh tubuhnya yang lain terkubur dalam bukit sampah. Ia tetap diam walau belatung dari sampah busuk mulai merayap di wajahnya bersama aroma bau busuk dari sampah.

Mengintip dan Menatap
Kedua tangan Melati Suryodarmo memegang cermin kecil berbingkai kaleng. Cermin dengan bentuk segi empat dan bundar sebanyak 100 cermin itu, diletakkan menyebar di atas tanah landai dalam kemiringan tertentu. Melati terus bergerak dengan dua cermin di tangannya untuk mengintip antara wajahnya, penonton yang datang dan alam di sekitarnya. 

Aksi mengintip melalui cermin itu memperlihatkan bagaimana wajah masih merupakan identitas pertama seseorang. Mengintip pantulan bentuk pada cermin, seperti sayatan yang dilakukan terhadap ruang. Tetapi juga membuat sebuah pertemuan langsung menjadi pertemuan yang diperentarai melalui pantulan bayangan dalam cermin. 

Cermin yang memperlihatkan permukaan dua dimensi itu seakan-akan memiliki ruang dalam dari permukaannya.  Ruang untuk bermain dengan pantulan, dengan bayangan, membangkitkan rasa lucu, palsu dan menggoda. Kita seperti sedang mengintip bayangan yang juga sedang mengintip kita. Sebuah pertemuan palsu yang kadang menghasilkan rasa sakit juga: bagaimana kita melihat tubuh kita sendiri kalau cermin tidak diproduksi lagi. Melati dan cerminnya itu mengingatkan mata-lain yang mengintai, walau itu mata kita sendiri. Mata-lain yang memisahkan dan memetakan, walau itu mata kita sendiri. Mata-lain yang juga memindahkan proses narsistik menjadi peristiwa bersama. 

Cermin yang dihadirkan Melati itu menjadi sebaliknya dengan yang dilakukan Aor Nopawan (Thailand). Aor menggunakan kertas daur-ulang mirip kain spon yang biasa digunakan untuk lapisan dalam krag kemeja, berwarna putih. Kertas itu ditempelkan di wajahnya. Lidahnya mulai memain-mainkan kertas itu hingga basah dan bolong. Lalu kertas perlahan-lahan mulai retak dan sobek hingga hidung dan hampir seluruh wajah Aor muncul dari celah sobekan kertas itu.

Aksi kemudian berpindah. Aor memberikan kertas itu kepada salah seorang penonton. Penonton mulai melakukan hal yang sama terhadap kertas itu seperti yang dilakukan Aor. Dalam aksi ini Aor ikut menempelkan wajahnya ke wajah penonton tersebut, hingga wajah keduanya saling bersentuhan hanya dibatasi oleh kertas putih itu. Hal yang sama dilakukan kepada beberapa penonton lainnya, hingga kertas itu sobek dan wajah mereka jadi saling bersentuhan langsung melalui celah sobekan itu.

Proses yang dilakukan Aor itu seperti menghasilkan ambiguitas antara pertemuan tidak langsung yang dibatasi kertas putih, menjadi pertemuan langsung setelah kertas itu sobek. Pertunjukan Aor ini kemudian diakhiri dengan membakar sebuah bantal dalam bentuk hati merah ukuran kecil, lebih kecil dari bola pingpong. Pembakaran hati merah itu seperti menghapus kembali peristiwa ambiguitas yang telah dibuat sebelumnya: Menghentikan peristiwa ambiguitas itu menjadi peristiwa simbolik tentang “sobeknya” hubungan kasih-sayang antar manusia. Penutup pertunjukannya itu rasanya mengubah proses inter-aktif yang terjadi sebelumnya, menjadi peristiwa simbolik yang berada di luar dari proses interkaktif itu sendiri. Kebutuhan terhadap pesan maupun makna sebuah pertunjukan, kadang justru menggunting proses intens yang sudah berlangsung sebelumnya.

Menatap (proses subjektivasi) yang dilakukan Yingmei Duan (China/Jerman), seakan-akan mengambil atau melengkapi aksi mengintip (proses objektivasi) seperti yang dilakukan Melati melalui cermin, dengan aksi menempel dan merobek seperti yang dilakukan Aor Nopawan. Di pendopo utama Lemah Putih, Yingmei Duan, meminta penonton berdiri berbaris dalam satu lapis, membentuk tapal kuda segi empat. Yingmei kemudian mulai bergerak perlahan, sambil bernyanyi. Ketika tubuhnya mulai mendekat ke salah satu penonton, tubuhnya mulai merapat hingga menempel dengan tubuh penonton itu. Kadang ia membuat goyangan minimal terhadap tubuh penonton yang sudah menempel dengan tubuhnya itu. Lalu aksi menatap mulai dilakukan ke mata penonton dalam jarak yang begitu dekat, hanya beberapa CM sebelum hidung keduanya saling bersentuhan.

Begitu terus-menerus Yingmei melakukan hal yang sama ke seluruh penonton hingga barisan terakhir. Ketika aksi ini sampai pada giliran saya, saya merasa tatapan itu saling membersihkan diri kita. Yingmei memberikan ruang dalam matanya untuk kita masuk. Aksi tatapan ini rasanya sangat sederhana, tetapi sekaligus menjadi tidak terbatas. Ruang dari saling menatap itu seperti molekul-molekul yang saling bertukar. Cahaya yang datang dari dalam mata menjadi saling bertukar dan berganti antara mata Yingmei dengan mata saya.

Seorang teman mengatakan bahwa pertunjukan Yingmei itu mengingatkan sebuah permainan pada masa kanak-kanaknya. Permainan “saling menatap”: siapa yang paling dulu berkedip, berarti dia kalah. Boris Nieslony menyebut pertunjukan Yingmei ini sebagai pertunjukan “inter-pasif”, sementara Yingmei sendiri menyebutnya “inter-aktif”. Saya tidak bisa membedakan keduanya, karena kontak antar mata yang saling menatap itu seperti saling membuka ruang untuk masuk, tetapi juga kemungkinan terjadinya saling menutup ruang untuk saling menolak. Atau bahkan, kontak tidak berhasil dilakukan ketika keduanya tidak saling memberi juga tidak saling menolak. Untuk sebagian penonton Indonesia sendiri, saling menatap masih dilihat sebagai tindakan yang tidak sopan atau bisa dianggap sebagai tantangan untuk saling mengukur kekuatan masing-masing melalui tatapan mata.

Performance Art dalam Konteks Indonesia 
Bahasa dan tubuh-kolonial untuk saya merupakan tema yang menarik dalam melihat performance art dalam konteks Indonesia. Kolonialisasi yang pernah berlangsung di Indonesia mengakibatkan pengertian “pribumi” (penduduk asli) memiliki stigma sebagai masyarakat yang menempati struktur paling rendah dalam struktur kolonial. Politik etnis yang dijalankan pada masa kolonial ini, menjadikan struktur ini tertanam sedemikian rupa dalam masyarakat. Tubuh-Jawa, tubuh-Sunda, tubuh-Batak dan tubuh sub-sub etnis lainnya seperti tidak pernah bertemu satu sama lainnya, walau pun mereka sama-sama telah menggunakan bahasa Indonesia. Pemisahan yang juga berlangsung antar tubuh-religi dari agama berbeda yang tidak bisa saling bertemu satu sama lainnya.

Bahasa Indonesia yang memang didorong oleh pemerintahan kolonial Belanda menjadi alat komunikasi bersama dari bahasa Melayu, terbentuk dalam politik etnis ini. Pemerintahan Belanda antara lain membentuk semacam pusat bahasa dan sastra melalui lembaga Balai Pustaka untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung. Bahasa yang digunakan dan dipahami bersama-sama, tetapi para pengguna bahasa itu sebenarnya masih tetap tinggal dalam tubuh sub-etnisnya masing-masing. Tubuh yang menggunakan sub-etnis dan agamanya sebagai identitas yang melekat. Dan bukan sebagai identitas dari proses personalisasi yang dijalani antar individu. Setelah masa kolonial berakhir, bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Dan bahasa daerah atau bahasa ibu menjadi tertinggal, hanya hidup sebagai bahasa keluarga dan bahasa komunitas. Tubuh-kolonial itu tetap tertanam dalam dualisme bahasa seperti ini. 

Tubuh-kolonial itu cenderung menggunakan tradisi sebagai identitas. Modernisasi diterima sebagai perubahan untuk mengikuti perubahan jaman. Tetapi modernisasi tidak pernah diterima sebagai bagian dari politik identitas yang dialami bersama. Lebih lagi di bawah tekanan globalisasi, lokalitas dianggap sebagai benteng identitas yang harus dipertahankan dalam bentuk harafiahnya. Bahasa Indonesia yang menggunakan istilah “masa lalu” sebagai masa yang telah berlalu, cenderung mematahkan kontinyuitas pertemuan antara waktu-tradisi dan waktu-modern, seakan-akan keduanya berada dalam realitas waktu dan ruang yang berbeda dan tidak saling bertemu lagi satu sama lainnya. Membuat padanan paradoks antara tradisi dan modern merupakan bagian dari kerja struktur kolonial yang terus berlangsung pada cara-cara kita membaca proses kebudayaan yang terjadi. Paradoks yang sudah harus ditinggalkan, karena hanya menghasilkan konflik semu dan pewacanaan yang juga semu. Palsu!

Sebagian aksi performance art di Indonesia yang menggunakan bahan-bahan dari tradisi sebagai identitas pertunjukan mereka (gerak, nyanyian, kostum maupun konsep), merupakan bagian dari kerja struktur tubuh-kolonial itu. Globalisasi dihadapi dengan pemahaman lokal dalam konteks struktur kolonial ini. Kita seperti menyaksikan kultur yang telah dibekukan dalam aksi mereka. Kultur yang berada di luar dari kehidupan sehari-hari mereka di antara kehidupan modern yang telah diwakili oleh listrik, TV, kendaraan bermotor, komunikasi digital sampai kartu kredit. Struktur kolonial yang tertanam dalam politik identitas seperti ini, membuat proses identitas terhenti dalam melakukan negosiasi dengan realitas masa kini yang dihadapi. Struktur kolonial ini pada gilirannya cenderung memperlakukan tubuh sebagai kepompong yang bisa diisi apa pun, dan bukan sebagai diri sendiri, bukan sebagai sesuatu yang personal yang dialami sendiri.

Dalam pembicaraan Halim HD pada forum PALA, bahkan identitas dilihat sebagai kekuatan. Halim memberi contoh pada tradisi dunia jagoan di Serang, Banten, Jawa Barat. Pada masa kanak-kanaknya, bahkan hingga kini, identitas lebih dilihat sebagai kekuatan seseorang dalam menghadapi senjata tajam. Identitas sama dengan kesaktian yang dimiliki seseorang yang tidak mempan dibacok.

Djarot B. Dharsono dalam presentasinya, mencoba mempraktekkan kembali tradisi bukan semata-mata sebagai identitas yang melekat. Ia mengenakan kostum Jawa dan bergerak dengan tubuh-Jawa, mengaitkan benang putih antara batu-batu dan tanaman yang terdapat pada sebagian areal di Padepokan Lemah Putih ini. Di sebuah tanah landai dalam kemiringan tertentu, Djarot kemudian menancapkan sebilah papan. Dia meminta kepada penonton untuk meletakkan permainan keseimbangan (yang pernah menjadi permainan di masa kanak-kanaknya) di atas sebilah papan itu. Permainan keseimbangan itu terbuat dari potongan bambu kecil dalam bentuk segi tiga, masing-masing ujungnya diberi pemberat. Sehingga ketika segi tiga bambu ini diletakkan di atas bilah papan itu, ia tetap berdiri memainkan keseimbangannya dari pemberat yang digantungkan pada masing-masing ujungnya. 

Tentu Djarot sedang berbicara tentang hubungan alam dengan keseimbangan, juga bisa dibaca bahwa selalu ada paradoks setiap kita memasuki ruang dan mengambil posisi pada ruang itu. Paradoks untuk menghasilkan keseimbangan maupun komposisi. Dalam bentuk berbeda, Fitri Setyaningsih juga menggunakan tubuh-tradisi dalam performance artnya. Dia menggunakan gigi Cakil yang biasa digunakan pada wayang orang, dan biasa digunakan oleh lelaki. Fitri juga menggunakan jarit sebagai kemben dari kostum yang digunakannya. Melalui sebuah bingkai, dia membentangkan kain berwarna biru terang sepanjang 8 meter di atas hamparan rumput. Lalu Fitri mulai bergerak dalam posisi jongkok (laku dodog dalam tradisi Jawa) di atas kain biru itu sambil menancapkan pisau. Enam buah pisau tertancap memanjang di sepanjang kain biru yang dilalui Fitri dalam pertunjukannya itu. Lalu dia mulai menarik kain biru itu hingga sobek, karena kain harus melewati pisau yang menancap di atasnya. Setelah seluruh kain biru itu berada dalam pelukannya, Fitri mulai menjatuhkan tubuhnya di atas rumput. Berdiri lagi dan menjatuhkan tubuhnya lagi, lalu berbaring dalam posisi jatuh di rumput. Aksi ini dilakukan berulang-ulang hampir sepanjang 2 jam lebih dalam pertunjukannya. Sebuah pertunjukan yang rasanya mencoba menulis kembali tubuh-tradisi ke dalam dunia masa kini.

Tubuh-Jawa juga digunakan Elyandra Widharta, Guh S. Mana dan Suprato Suryadarmo dalam pertunjukan mereka masing-masing. Suprapto bergerak di dalam timbunan ranting-ranting kering bertentuk bukit kecil. Bergerak seperti ritual dari tubuh Hindu/Budha-Jawa di tengah-tengah hujan yang sedang turun. Ranting-ranting itu seperti ikut berdenyut setiap Suprapto melakukan gerakan. Ranting yang juga menghasilkan rasa tajam dan menusuk setiap gerak dilakukan. Tetesan-tetesan air hujan yang rasanya juga ikut menusuk.

Beberapa gerakan Suprapto dilakukan seperti menerima sekaligus menepis rasa tajam itu. Gerak yang berusaha menghadirkan imaji-imaji yang di bawah untuk datang ke atas dan sebaliknya untuk datang ke bawah. Bahwa ke bawah dan ke atas bukan lagi sebagai peristiwa turun maupun peristiwa naik, melainkan sebuah peristiwa kedatangan. Prinsip ini tampaknya merupakan bagian dari Budha Hinayana yang meniadakan konsep pemisahan kasta dalam ritual maupun kehidupan sehari-hari.

Iwan Wijono membawa konteks lain dalam performance art di Indonesia. Dia merupakan bagian dari gerakan yang menggunakan performance art sebagai perlawanan terhadap rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, anti militerisasi dan birokratisasi. Gerarakan ini cenderung keras. Menggunakan tubuh dan visualisasi sebagai alat protes. Setelah rezim Suharto jatuh, karakter politis dari gerakan performance art ini tetap melekat dalam tema-tema demiliterisasi, melawan hegemoni dalam globalisasi dan pasar bebas. Yuda Cokelat dalam pertunjukannya pada Undiscloused Territory #5, merupakan pelanjut dari tubuh-politis performance art di Indonesia. Dalam Undiscloused Territory #5, Iwan Wijono kembali menggunakan tubuh-politisnya untuk perlawanan terhadap hegemoni keuangan internasional. Pertunjukannya diawali dengan melepaskannya seluruh pakaiannya hingga tinggal celana dalam. Lalu seluruh tubuhnya mulai dibalut dengan cetakan uang dollar, hingga tidak ada satu pun anggota tubuhnya yang bisa digerakkan. Iwan kemudian digotong, dibawa ke dalam mobil untuk memulai aksinya di ruang publik, di pasar rakyat maupun di mall dengan tubuhnya yang sudah menjadi “mumi dollar”. Iwan sendiri menyebut peformance art-nya sebagai seni propaganda.

Saya tidak mengikuti aksi yang dilakukan Iwan ini di ruang publik, karena di Padepokan Lemah Putih acara performance art yang lain terus berlangsung. Saya hanya mencoba membayangkan bagaimana “mumi dollar” dari Iwan Wijono ini harus menghadapi karakter publik di pasar, yang cenderung melihat tontonan sebagai hiburan? Bagimana pesan yang dibawanya harus berhadapan dengan karakter ini? Bagaimana kalau balutan dollar pada tubuhnya justru dibaca sebagai fashion dari dunia mode oleh penonton maupun oleh pers? Risiko ini kalau terjadi memang bisa mengubah tubuh-politis yang dibawa Iwan menjadi tubuh-tontonan dalam pertunjukannya di ruang publik. 

Tubuh-politis memang cenderung tidak memperlakukan dirinya sebagai tubuh yang heran maupun tubuh yang berpikir. Melainkan sebagai tubuh yang bertindak, menjadi media pertama dalam menyampaikan pesan. Tubuh-politik ini bekerja mirip seperti tubuh-jurnalistik (tubuh-media massa) untuk menyampaikan dan membentuk opini. Tubuh yang paling tidak harus mempersiapkan dirinya dalam berbagai latihan untuk melakukan aksi-aksi performance art yang keras. Bahwa perlawanan harus memiliki daya gugah melalui tubuh performance yang dilakukannya. Daya tahan tubuh (di samping visualisasi) menjadi bagian dari kualitas daya gugah tersebut. Daya gugah ini juga terlihat pada pertunjukan Zulkifli Pagesa. Zulkifli berjalan dengan sayap terbuat dari rakitan kayu yang menempel di punggung. Kepalanya terbungkus kantung plastik. Ia perjalan melalui jalan desa menuju Padepokan Lemah Putih yang berada di sebelahnya, sambil mengangkat sebuah batu. Besar batu mirip dengan ukuran jantung manusia. Dan batu itu sendiri memang ditempatkan di tengah dadanya.

Tentu, Zulkifli berjalan dengan ruang napas yang sangat sempit, dibatasi oleh kantung plastik yang menutupi kepalanya. Napasnya hampir habis ketika memasuki bagian tengah Padepokan Lemah Putih. Dan pertunjukan berakhir. Penonton hampir tidak memiliki kesempatan untuk melihat dan ikut merasakan kesulitan bernapas yang dialami Zulkiflik dalam kantung plastik itu, karena dilakukan malam hari dan jalan menuju ke tempat pertunjukan tidak mendapatkan pencahayaan yang cukup. Bahkan sebagian memang gelap. Pemilihan ruang pertunjukan dan riset terhadap resiko ini memang tidak cukup diperhitungkan, sehingga pesan yang akan disampaikan Zulkifli dibiarkan tertelan oleh kegelapan. Posisi Zulkifli sendiri yang terus berjalan dalam pertunjukannya, tidak memberikan jeda untuk penonton bisa melihat napasnya yang tersekap dalam kantung plastik.

* * *

Forum PALA dan Undisclosed Territory ini dikurasi Melati Suryodarmo dan Boris Nieslony. Dua program ini selalu dibuat berdampingan dan saling terkait satu sama lainnya. Pala menjadi ruang pewacanaan performance art yang dilakukan melalui presentasi dan aksi kolaborasi pada open session. Presentasi digunakan untuk saling berbagi pengalaman di sekitar metode, konsep, pandangan, maupun kerja performance art yang dilakukan oleh masing-masing seniman peserta forum ini. Dan open session menjadi praktek bersama dalam performance art yang dilakukan secara spontan. Keduanya menjadi proses untuk membentuk laboratorium bersama. Sementara Undisclosed Territory merupakan aksi pertunjukan yang terbuka untuk publik bisa menyaksikannya.

Yuenjie Maru dari Hongkong, selalu terlibat dalam bagian open session pada pertemuan PALA, di samping Boris Nielslony dan Alan Schacher. Yuenjie banyak menggunakan tubuhnya yang gemuk sebagai media pertunjukannya. Memainkan perutnya yang gendut menjadi berbagai bentuk menyerupai wajah manusia yang menyeringai, tertawa, menyerupai anus atau vagina. Memainkan rambutnya yang panjang, juga benda-benda maupun serangga yang ada di sekitarnya. Dalam pertunjukannya pada Undiscloused Territoy #5, Yuenjie menggunakan payung dan cairan gula untuk mengundang datangnya semut. Tetapi karena musim hujan yang panjang, semut lebih memilih tempat kering dan terlindung dari hujan. Semut rupanya tidak cukup tergoda oleh cairan gula yang ditawarkan Yuenjie.

Performance art pada gilirannya memang sebuah ruang pertemuan dalam jarak minimal, di mana ia tidak didefinisikan melalui dirinya sendiri, melainkan melalui apa yang dipikirkan dan dikerjakan seorang seniman performance art dalam pertunjukan yang dilakukannya. Tempat maupun material yang mereka gunakan, juga penonton, bukanlah media kosong. Semuanya memiliki cerita dan sejarahnya masing-masing yang bisa dirajut kembali. Menempatkan antara mengingat dan melupakan dalam gravitasi waktu. Menjadikannya sebagai imaji-imaji yang kita salin bersama, kita dokumentasi bersama dan kita hisap bersama dalam pertukaran napas, tatapan dan tindakan. 
Support : Arsip Budaya Nusantara | Kotak Bumbu | Kunci Finansial
Copyright © 2013. Pecinta Malna - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger