Home » » Esai Afrizal Malna: Performance Art dan Selembar Daun Kering yang Ditanam dalam Kenangan

Esai Afrizal Malna: Performance Art dan Selembar Daun Kering yang Ditanam dalam Kenangan

Performance Art dan Selembar Daun Kering yang Ditanam dalam Kenangan


Oleh Afrizal Malna

Selamat pagi, kawan-kawan. Untuk pertemuan ini, dalam program Undiscloused Territory #5, saya akan  membicarakan 3 hal di sekitar apa yang saya pikirkan tentang performance art dalam lingkungan PALA (Performance Art Laboratory Project. Untuk saya, PALA merupakan forum penting untuk melihat apa yang kita kerjakan dan apa yang kita pikirkan tentang performance art. Presentasi dan open session yang dilakukan dalam forum ini menghasilkan laboratorium bersama untuk metode maupun pewacanaan performance art  yang dilakukan oleh seniman-seniman performance art yang mengikuti forum ini.

Saya juga akan membicarakan performance art dalam konteks Indonesia. Saya memasukkan tema ini dalam pembicaraan di sini, karena performance art di Indonesia tumbuh dan berkembang dalam konteksnya sendiri. Dan membuatnya memiliki gambaran sedikit berbeda dengan, misalnya, performance art yang dilakukan oleh seniman-seniman dari Eropa yang memiliki akar berbeda. Di samping itu, saya juga akan membicarakan performance art dalam konteks bahasa, terutama karena saya seorang penyair. Saya menggunakan tahu dan ikan teri (ikan asin kecil yang telah dikeringkan) untuk membantu saya memvisualkan pembicaraan ini. Tanpa ikan teri, banyak orang miskin di Indonesia mungkin tidak bisa hidup.

Selanjutnya, tentu saya akan bergantung sepenuhnya kepada Melati Suryodarmo untuk menterjemahkan pembicaraan ini ke dalam bahasa Inggris. Terimakasih, Melati. Dan maafkan saya untuk lalu-lintas dua bahasa yang melelahkan ini, karena pembicaraan ini harus dilakukan terlebih dulu melalui bahasa Indonesia untuk sampai ke bahasa Inggris. Tulisan ini mencoba menyalin kembali pembicaraan yang telah saya lakukan tanpa teks tertulis, dan menjadi lebih panjang karena perbedaan mendasar antara bahasa lisan yang lebih langsung, dengan bahasa tulisan yang harus mematuhi kaidah-kaidahnya sendiri. Di samping juga menjadi lebih panjang, karena saya melengkapinya dengan catatan-catatan yang saya buat atas seluruh pertunjukan performance art yang berlangsung dalam Undiscloused Territory #5 yang saya amati.

Performance Art dari Yuda Coklat 
Performance Art dari Angie Seach

Performance Art dari Yuenjie Maru

Performance Art dari Guh S. Mana

Performance Art dari Melati Suryodarmo
Performance Art dari Iwan Wijono

Ambang Batas di Luar dan di Dalam Kesenian
Kesenian membutuhkan tempat untuk menyatakan dirinya dalam bentuk ruang pameran maupun ruang pertunjukan (ruang tertutup maupun ruang terbuka). Tempat itu kita katakan bukan-karya-seni. Tetapi ketika karya-seni mulai kita tempatkan di sana (panggung, ruang pameran, ruang publik maupun ruang terbuka lainnya), bagaimana bisa kita tetap mengatakan bahwa tempat itu “bukan-karya-seni” walau “karya-seni” itu telah ditempatkan di sana? Kenapa kita tidak melihat adanya hubungan antara keduanya, dan batas ambang itu menjadi cara kita membaca kesenian, sebagai strategi lain untuk membaca karya seni yang telah dihadirkan? Bahwa karya seni itu tidak pernah ada tanpa adanya tempat yang cocok untuk menghadirkannya. Karya-seni bergantung secara fundamental kepada tempat atau ruang untuk menghadirkannya. Ambang batas antara keduanya merupakan ruang-antara, tempat kita memikirkan kembali hubungan karya seni dengan diri kita sendiri.

Seorang seniman yang memperlakukan kesenian sebagai kebenaran, cenderung tidak memberikan toleransinya terhadap ruang-antara dalam wilayah batas ambang itu. Seluruh hidup dan pikirannya diletakkan dalam kesenian. Kesenian menjadi pusat konsentrasinya. Ia tidak pernah membaca maupun bekerja pada batas ambang itu. Kecenderungan yang terjadi kemudian, si seniman akan terpenjara dalam teknik dan pencanggihan yang dilakukannya. Ia tidak pernah tahu bahwa keseniannya telah terkubur dan mati dalam teknik dan pencanggihan itu. Ia menerima begitu saja bahwa kesenian merupakan profesi dan identitasnya. Ia harus melakukan pembesaran, distribusi, promosi dan penggandaan untuk melanjutkan keseniannya. Si seniman akan membuat sesuatu yang lebih besar lagi dan lebih besar lagi, sehingga karyanya tidak ada hubungannya lagi dengan kehidupannya sendiri dan kehidupan kita. Kesenian kemudian menjadi kesombongan baru. Kita tidak bisa lagi mengukur karyanya dengan kemanusiaan kita. Ia menjadi kapitalisme lain dalam bentuk karya seni. Ia akan lebih menjaga pasar untuk karyanya daripada batas ambang itu.

Seorang seniman yang tetap berdiri dan bekerja pada batas ambang itu menjadi penting. Karena ia akan terus bekerja dan berpikir dalam kaitannya dengan dunia di sekitarnya, dan memiliki ruang yang lebih besar untuk melakukan updating. Batas ambang ini akan terbuka manakala si seniman tetap menggunakan mata-pertama untuk berkarya dan mata-kedua untuk membaca. Mata-kedua ini bisa ikut tertopang lewat bantuan kritikus, kurator maupun dramaturg yang membantunya dalam evaluasi dan perencanaan kerja keseniannya dengan cara mereka masing-masing. Mata-kedua yang mengalami kehidupan sehari-hari sebagaimana ia menjaga rasa herannya atas kehidupan yang berlangsung setiap hari.

Performance art untuk saya merupakan gerakan yang berusaha keluar dari ketegangan maupun konflik pada batas ambang itu, paling tidak dalam lingkungan PALA yang saya ikuti selama 3 tahun berturut-turut (2008, 2010, 2011). Seniman-seniman performance art seperti Waldemar Tatarczuk (Polandia) dan Alastair MacLennan (Irlandia) misalnya, keduanya sebelumnya pelukis; Kurt Johannessen (Norwegia) sebelumnya seorang penyair; Andrea Saemann (Switzerland) tidak pernah cocok di bidang-bidang seni mainstream dan lebih menemukan dirinya dalam performance art; Boedi S. Otong (BOT) dari Indonesia/Switzerland sebelumnya seniman teater; sebagian yang lain pernah bekerja sebagai seniman tari dan musik. Mereka yang meninggalkan seni mainstream dan lebih mendapatkan ruangnya dalam performance art merupakan bagian dari fenomena gerakan ini.

Gerakan yang tentu dipengaruhi oleh kebutuhan pertemuan antar disiplin dan antar manusia dengan background maupun akar budaya masing-masing. Gerakan yang menjadikan semua yang paling dekat dengan dirinya (tubuh, material maupun tempat) sebagai aksi dan strategi performance art yang mereka lakukan. Mereka cenderung memecah sifat karya seni itu sendiri yang centring menjadi decentring, yang-dilihat menjadi yang-bertemu. Gagasan tidak lagi diantar melalui teknik, melainkan melalui intensitas dan kecerdasan. Teknik cenderung menjebak seniman ke dalam kerja otomisasi dan posisi defensif dalam berkarya.

Bahasa Pertama dari Tubuh
Tubuh menjadi bahasa pertama dari aksi performance art yang mereka lakukan. Tubuh sebagai terminal untuk berbagai pertemuan yang mungkin dilakukan. Baiklah. Tubuh menjadi transportasi untuk perjalanan dan perpindahan (penanaman doktrin terhadap tubuh adalah penjajahan atas tubuh). Begitulah. Tubuh digunakan untuk bertemu kembali dengan kenangan, dan merajutnya dalam rahasia. Hati-hati. Tubuh memainkan jarak untuk terjadinya interaktif maupun interpasif, keintiman, tumbuh dan memberi. Jangan membawa gunting.

Tubuh mengubah filsafat menjadi yang dilakukan dan dialami, bukan yang dipikirkan dan diyakini. Cobalah. Tubuh mengubah kesenian menjadi yang sedang terjadi dan bukan yang sudah berlalu. Silakan. Personalisasi atas tubuh menjadikan tubuh terbuka untuk bekerja antar individu dan budaya, bertemu secara personal dengan bahasa, dan mengalami tubuh arkhaiknya. Selamat pagi. Boedi S Otong (B.O.T) dalam PALA 2008, mengandaikan yang mereka lakukan dalam performance art seperti “masyarakat baru” yang sedang melakukan goblok-goblokan dalam kesenian. Goblok-goblokkan untuk kembali bisa heran kepada apa artinya “manusia yang bertindak dalam kesenian” dan bukan bertindak “atas nama kesenian”? Terimakasih, Boedi.

Kira-kira begitu pewacanaan yang berlangsung dalam 2 program performance art saling terkait antara PALA (Performance Art Laboratory Project) dan Undisclosed Territory yang telah berlangsung lima edisi (2007-2011). Kini saya akan membicarakan dua pembicaraan saya lainnya (performance art dalam konteks Indonesia dan hubungannya dengan bahasa) melalui PALA dan Undiscloused #5 yang saya amati. Keduanya berlangsung di Padepokan Lemah Putih, Karang Anyar, Jawa Tengah, 22-26 April dan 30 April-1 Mei 2011.

Kenangan dan yang Tak Kembali Lagi
Sekumpulan batu es dalam ukuran kecil dituang ke lantai dari dalam karung plastik. Waldemar Tatarzcuk dari Polandia, duduk bersila membelakangi cermin besar berbingkai ukiran, mirip sebuah jendela. Ia lalu melempar sebuah batu besar ke arah kumpulan batu es hingga timbunan batu es itu berantakan, memecah ruang.

Kemudian Waldemar mulai menyusun batu-batu di atas serakan batu es itu. Mempertemukan dua batu yang saling berlawanan: antara batu berwarna hitam, padat, keras dan berat–dengan batu es yang ringan, bening dan mencair perlahan-lahan. Cermin lalu didekatkan, diletakkan berdiri menutupi tumpukan batu itu dan tubuh Waldemar sendiri. Kini penonton hanya bisa melihat bagian belakang cermin yang berlapis kayu. Waldemar duduk berhadap-hadapan di antara tumpukan batu dan cermin. Lalu batu-batu itu mulai dilempar ke arah berlawanan, terus-menerus hingga tumpukan batu itu habis. Setiap lemparan diakhiri dengan bunyi bel yang dipukul dengan halus.

Waldemar sebelumnya seorang pelukis. Dia meninggalkan seni lukis, karena merasa setiap melukis seperti telah membunuh seseorang, membekukan kehidupan seseorang. Performance art baginya membawa persoalan waktu yang lain. Setiap aksi yang dilakukannya dalam performance art baginya menjelma menjadi peristiwa yang telah berlalu. Rasanya seseorang ikut mati dalam peristiwa yang telah berlalu itu. Melupakan, baginya menjadi penting dalam berhadapan dengan kenyataan: bahwa setiap yang dilakukan manusia selalu berakhir sebagai tindakan yang telah berlalu. Tindakan dan peristiwa yang tak bisa kembali lagi. 

Melempar batu secara terus-menerus ke arah berlawanan dalam pertunjukannya itu, seperti pernyataan tentang yang selalu-berlalu dan berlalu berulang-ulang. Repetisi tentang “yang-selalu-berlalu” itu, yang sangat provokatif baik karena bentuk maupun suara batu yang jatuh di lantai dalam pertunjukannya, sebenarnya kemudian terdokumentasi dalam benak penonton. Suara batu yang dilempar dan bunyi bel halus setiap lemparan batu dilakukan, juga menghasilkan imaji seperti ada sesuatu yang runtuh dari dalam tubuh seseorang. Melahirkan strategi pembacaan lain terhadap pertunjukan Waldemar itu. Yaitu tubuh yang dibersihkan dari doktrin maupun nilai-nilai yang ditanamkan dan telah membantu dalam tubuh.

Marilyn Arsem dari USA bertolak dari pandangan berbeda. Dalam presentasinya, dia memberikan 3 daun kering kepada 3 peserta PALA. Ia kemudian mulai menggali tanah. Lalu meminta komentar kepada ketiga penerima daun kering itu tentang daun kering yang kini sudah berada di tangan mereka masing-masing. Setelah komentar disampaikan, Marilyn meremas daun kering itu, lalu menguburnya ke dalam tanah yang tadi digalinya.

Cara itu dilakukannya, dilatari anggapan bahwa hidup itu baginya begitu singkat. Karena itu bertemu dengan kenangan atau membuat kenangan untuknya menjadi berarti. Kenangan akan tetap hidup setelah ia dinyatakan. Presentasinya itu untuk memperlihatkan bagaimana kenangan dibuat dalam jarak yang intim, dan merajut hubungan rahasia dengan ke tiga penerima daun kering itu lewat kenangan tersebut. 

Menciptakan kenangan dan mengubur kenangan dalam rajutan rahasia, dalam pertunjukan Marilyn (Undiscloused Terretory #5), mirip dengan peristiwa melahirkan. Pertunjukan dilakukan Marilyn dalam timbunan daun-daun jati kering. Beberapa daun jati kering digantung untuk menciptakan imajinasi ruang yang seakan-akan memiliki beberapa layer. Marilyn kemudian memasukkan tangannya ke dalam timbunan daun kering itu dan menarik daun kering dari dalam timbunan (seperti proses melahirkan daun kering dari dalam timbunan daun kering itu sendiri). Daun kering itu kemudian dilipat, dijadikan abu, lalu dikubur. Pertunjukan terus berlangsung seperti itu, seperti proses melahirkan, menyimpan, menghancurkan dan menguburnya kembali. 

Konsep menciptakan atau menemui kembali kenangan, dilakukan Marilyn seperti tindakan mengubah sejarah menjadi biografis. Semua aksi dalam pertunjukan memang menjadi peristiwa yang berlalu. Tetapi ia tidak hilang. Ia tersimpan dalam kenangan penonton yang dijalin selama pertunjukan berlangsung. Dan tidak bisa dihapus kembali setelah ia hidup dalam kenangan.

Pertemuan dan Perpindahan
Sandra Johnston dari Irlandia menggunakan material air mineral dalam gelas plastik. Gelas diletakkan terbalik di atas telapak tangannya. Air mulai menetes di antara sela-sela jari tangannya hingga habis. Gelas plastik itu mulai diremasnya. Dan tiba-tiba dalam gerakan cepat, gelas yang sudah diremas-remas itu dimasukkan ke dalam mulutnya. Sandra kemudian meletakkan kepalanya di atas tanah becek. Sebagian tubuhnya masih tertinggal pada undakan lantai salah satu pendopo di Padepokan Lemah Putih. Hujan sedang turun. Air hujan menetes ke dalam mulutnya yang sudah tersumbat gelas plastik. Dan lumpur dari tanah becek itu kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya.

Pertunjukan Sandra itu seperti menjadikan tubuhnya sebagai terminal untuk berlangsungnya pertemuan antara gelas plastik (produk pabrik) dengan alam (hujan dan lumpur). Sebuah pertunjukan yang juga bisa dibaca bagaimana industri memperkosa tubuh kita. Prinsip pertemuan dan perpindahan itu, antara benda dan tubuh, dilakukan Sandra dengan gerak dan gestur tubuhnya yang unik, mirip laba-laba yang menunggu mangsa di antara tekukan kaki dan tangannya. Tubuh yang rasanya belum ada namanya.

Prinsip pertemuan dan perpindahan itu berlangsung intens, intim, dilakukan Boris Nieslony (Jerman) bersama Sandra Johnston. Pertunjukan mereka dilakukan dalam sebuah celah saluran air yang sedang kering. Kantung celana Boris berisi butir-butir beras. Butir-butir beras itu satu-persatu mulai dipindahkan Boris ke tangan Sandra dengan gerakan halus antara jari jempol dan jari telunjuk yang menjepit sebutir beras, terkontrol, hingga seluruh butir-butir beras itu berpindah satu-persatu ke tangan Sandra. Menjadi irama dan menjadi puisi yang berlangsung terus-menerus tanpa akhir. Pertunjukan dilakukan hampir sepanjang 4 jam dengan posisi yang tidak berubah, seperti patung yang hanya tangan mereka yang bergerak. Kedua tangan mereka seperti saling menyalin kembali gerak tangan yang telah mereka hasilkan.

Dalam strategi yang lain, perpindahan juga menghasilkan sesuatu yang berubah, tumbuh dan ditandai. Alan Schacher dari Australia menggunakan undakan-undakan semen yang terdapat dalam Padepokan Lemah Putih, tempat pertunjukan dilakukan. Alan memulai aksinya dengan membersihkan tanaman liar yang tumbuh di atas undakan-undakan semen itu. Tanaman liar itu dimasukkan ke dalam kantong plastik. Gerak mulai tercipta ketika Alan mulai membersihkan undakan itu dari lapisan tanah yang menempel pada badan undakan itu dengan kedua tangannya yang seperti dilempar ke udara setiap tangannya sampai pada batas ujung undakan semen.

Alan kemudian mengenakan sarung dan kemeja lengan panjang berwarna biru gelap. Dimensi pertunjukannya mulai berubah ke arah tindakan ritual. Ia mulai memainkan batu dalam jarak pendek di atas undakan itu. Merebahkan tubuhnya di atas undakan dengan batu diletakkan di atas dadanya. Pertunjukan berakhir dengan cara Alan melepas kembali sarung dan kemeja lengan panjangnya, dan memasukkannya ke dalam plastik yang berisi tanaman liar dari undakan yang dibersihkan sebelumnya. Kantung plastik itu ditiupnya hingga menggelembung. Lalu mengikatnya dan meletakkannya di ujung undakan semen yang telah bersih itu.

Perubahan ditandai dari undakan-undakan yang kotor menjadi bersih; dari pakaian pekerja yang dikenakan Alan sebelumnya menjadi pakaian seperti seseorang yang akan melakukan semhbayang dengan sarung; dari kantung plastik kosong kemudian diisi tanaman liar, sarung dan kemeja lengan panjang yang dikenakan sebelumnya. Pikiran ikut bekerja dari layer-layer aksi yang berubah dari aksi pertama ke aksi berikutnya. 

Perpindahan dan perubahan memang banyak digunakan sebagai metode dalam performance art, hampir menjadi konvensi yang cenderung melembaga dalam aksi performance art itu sendiri. Angie Seah dari Singapura mengubah bidang 2 dimensi menjadi 3 dimensi. Pertunjukannya menggunakan kain putih sebagai layar. Sorot lampu di belakang layar mengubah Angie menjadi bayangan. Bayangan itu mulai menyemprotkan air ke bidang layar kain putih itu. Air mulai merembes dan membuat aliran dari lelehen air pada bidang layar itu. Kemudian Angie mulai membuat garis-garis merah di atas kain yang sudah basah itu. Semua ini dilakukannya sambil bernyanyi yang juga mirip seperti mantra.

Bidang 2 dimensi itu mulai berubah menjadi 3 dimensi ketika Angie mulai membuat sayatan dan sobekan memanjang pada kain layar itu. Lampu dari belakang menerobos langsung, keluar melalui kain layar yang sudah berlubang-lubang memanjang itu. Sebagian sosok Angie juga mulai terlihat langsung melalui dan mengikuti lubang-lubang memanjang itu, di antara bayangan bagian dari tubuhnya yang lain yang masih tersisa. Pertunjukan ini seperti belum selesai, masih menyimpan persoalan yang tak teratasi antara perubahan dari 2 dimensi ke 3 dimensi.

Tubuh Kolonial dan Bahasa
Umumnya penggunaan bahasa cenderung dihindari agar performance art tidak menjadi pertunjukan drama, dan tubuh menjadi fundamental. Tetapi pada Undisloused Territory tahun lalu, unsur bahasa mulai muncul dan menjadi fenomena lain yang berjalan bersama tubuh dalam performance art. Dilakukan antara lain oleh Jacques Van Poppel (Netherland) dan Kaori Haba (Jepang). Keduanya sama-sama menarasikan tubuh-kolonial: Poppel menggunakan video pertunjukan musik rock and roll (Tilman Brothers) dari Bandung, ketika kelompok ini mentas di Belanda tahun 1958. Kaori menggunakan cerita tentang tentara muda Jepang selama pendudukan di Indonesia yang menerjemahkan nyanyian Bengawan Solo ke dalam bahasa Jepang menjadi nyanyian cinta. Keduanya mengubah sejarah menjadi biografis melalui musik dan bahasa.

Dalam Undisloused Territory tahun ini, Ray Langenbach dari USA/Malaysia, juga menggunakan bahasa. Pertunjukannya menggunakan semacam ruang tamu dengan meja dan kursi plastik berwarna merah. Percakapan dalam bahasa Thailand antara ayah dan anak ditayangkan melalui video. Percakapan ini berkisar bagaimana sejarah politik bercampur-aduk dengan sejarah keluarga. Sementara di ruang tamu, percakapan yang sama dilakukan dalam bahasa Indonesia, menggunakan presenter perempuan dan lelaki Indonesia.

Pertunjukan itu memperlihatkan fenomena tubuh Asia sebagai tubuh-kolonial yang tertanam dalam struktur politik etnis yang pernah ditanamkan pada masa kolonialisasi. Setelah kolonialisasi berakhir, struktur itu masih bekerja dalam tubuh sub-sub etnik dan reliji yang tepercah dan tidak bisa bertemu satu sama lainnya. Saling memakan satu sama lainnya setelah kolonialisasi berakhir. Tubuh kolonial yang percaya bahwa identitas terletak pada tradisi dan agama yang dan ditanamkan ke dalam tubuh mereka. Dan bukan sesuatu yang personal.

Hari menjelang malam ketika pertunjukan ini berlangsung. Dan Ray mengakhiri pertunjukannya dengan memindahkan kursi dan meja tamu dari plastik berwarna merah itu ke jalan sebuah desa, membelakangi area kuburan yang terdapat di desa itu. Dalam aksi ini Ray membakar bendera Amerika. Untuknya aksi ini merupakan akhir dari kejayaan Amerika. Lalu 10 pasang motor, masing-masing 5 motor yang dikendarai anak-anak muda desa, datang dari arah berlawanan, seperti mengepung ruang tamu di jalan desa itu. Suara dan lampu motor terdengar dan menyorot sama kerasnya. Keheningan di desa itu mulai gaduh dengan suara motor yang suara gasnya dimainkan. Asap dari knalpot motor juga mulai mewarnai udara. Motor yang seolah-olah mengancam dan akan menerkam ruang tamu itu, tiba-tiba menghindar, mencari jalan lain; tidak menyentuh sedikit pun ruang tamu di tengah jalan desa itu.

Masuknya unsur bahasa dalam performance art memiliki pengaruh yang cukup berarti: mencairkan tubuh-pertunjukan menjadi tubuh-biasa, tubuh sehari-sehari. Dan memperlihatkan bahwa performance art tidak hanya menggunakan tubuh sebagai pusat pertunjukan. Ia memecah dirinya sedemikian rupa menjadi multi-media dan multi-disiplin. Bahkan menjadi sangat minimalis dengan menggunakan aksi pasif dalam pertunjukan yang dilakukan. Seperti pernah dilakukan Alastair MacLennan dalam Undiscloused #3. Alastair melakukan meditasi dalam timbunan sampah pada pertunjukan ini. Hanya kepalanya yang tampak. Seluruh tubuhnya yang lain terkubur dalam bukit sampah. Ia tetap diam walau belatung dari sampah busuk mulai merayap di wajahnya bersama aroma bau busuk dari sampah.

Mengintip dan Menatap
Kedua tangan Melati Suryodarmo memegang cermin kecil berbingkai kaleng. Cermin dengan bentuk segi empat dan bundar sebanyak 100 cermin itu, diletakkan menyebar di atas tanah landai dalam kemiringan tertentu. Melati terus bergerak dengan dua cermin di tangannya untuk mengintip antara wajahnya, penonton yang datang dan alam di sekitarnya. 

Aksi mengintip melalui cermin itu memperlihatkan bagaimana wajah masih merupakan identitas pertama seseorang. Mengintip pantulan bentuk pada cermin, seperti sayatan yang dilakukan terhadap ruang. Tetapi juga membuat sebuah pertemuan langsung menjadi pertemuan yang diperentarai melalui pantulan bayangan dalam cermin. 

Cermin yang memperlihatkan permukaan dua dimensi itu seakan-akan memiliki ruang dalam dari permukaannya.  Ruang untuk bermain dengan pantulan, dengan bayangan, membangkitkan rasa lucu, palsu dan menggoda. Kita seperti sedang mengintip bayangan yang juga sedang mengintip kita. Sebuah pertemuan palsu yang kadang menghasilkan rasa sakit juga: bagaimana kita melihat tubuh kita sendiri kalau cermin tidak diproduksi lagi. Melati dan cerminnya itu mengingatkan mata-lain yang mengintai, walau itu mata kita sendiri. Mata-lain yang memisahkan dan memetakan, walau itu mata kita sendiri. Mata-lain yang juga memindahkan proses narsistik menjadi peristiwa bersama. 

Cermin yang dihadirkan Melati itu menjadi sebaliknya dengan yang dilakukan Aor Nopawan (Thailand). Aor menggunakan kertas daur-ulang mirip kain spon yang biasa digunakan untuk lapisan dalam krag kemeja, berwarna putih. Kertas itu ditempelkan di wajahnya. Lidahnya mulai memain-mainkan kertas itu hingga basah dan bolong. Lalu kertas perlahan-lahan mulai retak dan sobek hingga hidung dan hampir seluruh wajah Aor muncul dari celah sobekan kertas itu.

Aksi kemudian berpindah. Aor memberikan kertas itu kepada salah seorang penonton. Penonton mulai melakukan hal yang sama terhadap kertas itu seperti yang dilakukan Aor. Dalam aksi ini Aor ikut menempelkan wajahnya ke wajah penonton tersebut, hingga wajah keduanya saling bersentuhan hanya dibatasi oleh kertas putih itu. Hal yang sama dilakukan kepada beberapa penonton lainnya, hingga kertas itu sobek dan wajah mereka jadi saling bersentuhan langsung melalui celah sobekan itu.

Proses yang dilakukan Aor itu seperti menghasilkan ambiguitas antara pertemuan tidak langsung yang dibatasi kertas putih, menjadi pertemuan langsung setelah kertas itu sobek. Pertunjukan Aor ini kemudian diakhiri dengan membakar sebuah bantal dalam bentuk hati merah ukuran kecil, lebih kecil dari bola pingpong. Pembakaran hati merah itu seperti menghapus kembali peristiwa ambiguitas yang telah dibuat sebelumnya: Menghentikan peristiwa ambiguitas itu menjadi peristiwa simbolik tentang “sobeknya” hubungan kasih-sayang antar manusia. Penutup pertunjukannya itu rasanya mengubah proses inter-aktif yang terjadi sebelumnya, menjadi peristiwa simbolik yang berada di luar dari proses interkaktif itu sendiri. Kebutuhan terhadap pesan maupun makna sebuah pertunjukan, kadang justru menggunting proses intens yang sudah berlangsung sebelumnya.

Menatap (proses subjektivasi) yang dilakukan Yingmei Duan (China/Jerman), seakan-akan mengambil atau melengkapi aksi mengintip (proses objektivasi) seperti yang dilakukan Melati melalui cermin, dengan aksi menempel dan merobek seperti yang dilakukan Aor Nopawan. Di pendopo utama Lemah Putih, Yingmei Duan, meminta penonton berdiri berbaris dalam satu lapis, membentuk tapal kuda segi empat. Yingmei kemudian mulai bergerak perlahan, sambil bernyanyi. Ketika tubuhnya mulai mendekat ke salah satu penonton, tubuhnya mulai merapat hingga menempel dengan tubuh penonton itu. Kadang ia membuat goyangan minimal terhadap tubuh penonton yang sudah menempel dengan tubuhnya itu. Lalu aksi menatap mulai dilakukan ke mata penonton dalam jarak yang begitu dekat, hanya beberapa CM sebelum hidung keduanya saling bersentuhan.

Begitu terus-menerus Yingmei melakukan hal yang sama ke seluruh penonton hingga barisan terakhir. Ketika aksi ini sampai pada giliran saya, saya merasa tatapan itu saling membersihkan diri kita. Yingmei memberikan ruang dalam matanya untuk kita masuk. Aksi tatapan ini rasanya sangat sederhana, tetapi sekaligus menjadi tidak terbatas. Ruang dari saling menatap itu seperti molekul-molekul yang saling bertukar. Cahaya yang datang dari dalam mata menjadi saling bertukar dan berganti antara mata Yingmei dengan mata saya.

Seorang teman mengatakan bahwa pertunjukan Yingmei itu mengingatkan sebuah permainan pada masa kanak-kanaknya. Permainan “saling menatap”: siapa yang paling dulu berkedip, berarti dia kalah. Boris Nieslony menyebut pertunjukan Yingmei ini sebagai pertunjukan “inter-pasif”, sementara Yingmei sendiri menyebutnya “inter-aktif”. Saya tidak bisa membedakan keduanya, karena kontak antar mata yang saling menatap itu seperti saling membuka ruang untuk masuk, tetapi juga kemungkinan terjadinya saling menutup ruang untuk saling menolak. Atau bahkan, kontak tidak berhasil dilakukan ketika keduanya tidak saling memberi juga tidak saling menolak. Untuk sebagian penonton Indonesia sendiri, saling menatap masih dilihat sebagai tindakan yang tidak sopan atau bisa dianggap sebagai tantangan untuk saling mengukur kekuatan masing-masing melalui tatapan mata.

Performance Art dalam Konteks Indonesia 
Bahasa dan tubuh-kolonial untuk saya merupakan tema yang menarik dalam melihat performance art dalam konteks Indonesia. Kolonialisasi yang pernah berlangsung di Indonesia mengakibatkan pengertian “pribumi” (penduduk asli) memiliki stigma sebagai masyarakat yang menempati struktur paling rendah dalam struktur kolonial. Politik etnis yang dijalankan pada masa kolonial ini, menjadikan struktur ini tertanam sedemikian rupa dalam masyarakat. Tubuh-Jawa, tubuh-Sunda, tubuh-Batak dan tubuh sub-sub etnis lainnya seperti tidak pernah bertemu satu sama lainnya, walau pun mereka sama-sama telah menggunakan bahasa Indonesia. Pemisahan yang juga berlangsung antar tubuh-religi dari agama berbeda yang tidak bisa saling bertemu satu sama lainnya.

Bahasa Indonesia yang memang didorong oleh pemerintahan kolonial Belanda menjadi alat komunikasi bersama dari bahasa Melayu, terbentuk dalam politik etnis ini. Pemerintahan Belanda antara lain membentuk semacam pusat bahasa dan sastra melalui lembaga Balai Pustaka untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung. Bahasa yang digunakan dan dipahami bersama-sama, tetapi para pengguna bahasa itu sebenarnya masih tetap tinggal dalam tubuh sub-etnisnya masing-masing. Tubuh yang menggunakan sub-etnis dan agamanya sebagai identitas yang melekat. Dan bukan sebagai identitas dari proses personalisasi yang dijalani antar individu. Setelah masa kolonial berakhir, bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Dan bahasa daerah atau bahasa ibu menjadi tertinggal, hanya hidup sebagai bahasa keluarga dan bahasa komunitas. Tubuh-kolonial itu tetap tertanam dalam dualisme bahasa seperti ini. 

Tubuh-kolonial itu cenderung menggunakan tradisi sebagai identitas. Modernisasi diterima sebagai perubahan untuk mengikuti perubahan jaman. Tetapi modernisasi tidak pernah diterima sebagai bagian dari politik identitas yang dialami bersama. Lebih lagi di bawah tekanan globalisasi, lokalitas dianggap sebagai benteng identitas yang harus dipertahankan dalam bentuk harafiahnya. Bahasa Indonesia yang menggunakan istilah “masa lalu” sebagai masa yang telah berlalu, cenderung mematahkan kontinyuitas pertemuan antara waktu-tradisi dan waktu-modern, seakan-akan keduanya berada dalam realitas waktu dan ruang yang berbeda dan tidak saling bertemu lagi satu sama lainnya. Membuat padanan paradoks antara tradisi dan modern merupakan bagian dari kerja struktur kolonial yang terus berlangsung pada cara-cara kita membaca proses kebudayaan yang terjadi. Paradoks yang sudah harus ditinggalkan, karena hanya menghasilkan konflik semu dan pewacanaan yang juga semu. Palsu!

Sebagian aksi performance art di Indonesia yang menggunakan bahan-bahan dari tradisi sebagai identitas pertunjukan mereka (gerak, nyanyian, kostum maupun konsep), merupakan bagian dari kerja struktur tubuh-kolonial itu. Globalisasi dihadapi dengan pemahaman lokal dalam konteks struktur kolonial ini. Kita seperti menyaksikan kultur yang telah dibekukan dalam aksi mereka. Kultur yang berada di luar dari kehidupan sehari-hari mereka di antara kehidupan modern yang telah diwakili oleh listrik, TV, kendaraan bermotor, komunikasi digital sampai kartu kredit. Struktur kolonial yang tertanam dalam politik identitas seperti ini, membuat proses identitas terhenti dalam melakukan negosiasi dengan realitas masa kini yang dihadapi. Struktur kolonial ini pada gilirannya cenderung memperlakukan tubuh sebagai kepompong yang bisa diisi apa pun, dan bukan sebagai diri sendiri, bukan sebagai sesuatu yang personal yang dialami sendiri.

Dalam pembicaraan Halim HD pada forum PALA, bahkan identitas dilihat sebagai kekuatan. Halim memberi contoh pada tradisi dunia jagoan di Serang, Banten, Jawa Barat. Pada masa kanak-kanaknya, bahkan hingga kini, identitas lebih dilihat sebagai kekuatan seseorang dalam menghadapi senjata tajam. Identitas sama dengan kesaktian yang dimiliki seseorang yang tidak mempan dibacok.

Djarot B. Dharsono dalam presentasinya, mencoba mempraktekkan kembali tradisi bukan semata-mata sebagai identitas yang melekat. Ia mengenakan kostum Jawa dan bergerak dengan tubuh-Jawa, mengaitkan benang putih antara batu-batu dan tanaman yang terdapat pada sebagian areal di Padepokan Lemah Putih ini. Di sebuah tanah landai dalam kemiringan tertentu, Djarot kemudian menancapkan sebilah papan. Dia meminta kepada penonton untuk meletakkan permainan keseimbangan (yang pernah menjadi permainan di masa kanak-kanaknya) di atas sebilah papan itu. Permainan keseimbangan itu terbuat dari potongan bambu kecil dalam bentuk segi tiga, masing-masing ujungnya diberi pemberat. Sehingga ketika segi tiga bambu ini diletakkan di atas bilah papan itu, ia tetap berdiri memainkan keseimbangannya dari pemberat yang digantungkan pada masing-masing ujungnya. 

Tentu Djarot sedang berbicara tentang hubungan alam dengan keseimbangan, juga bisa dibaca bahwa selalu ada paradoks setiap kita memasuki ruang dan mengambil posisi pada ruang itu. Paradoks untuk menghasilkan keseimbangan maupun komposisi. Dalam bentuk berbeda, Fitri Setyaningsih juga menggunakan tubuh-tradisi dalam performance artnya. Dia menggunakan gigi Cakil yang biasa digunakan pada wayang orang, dan biasa digunakan oleh lelaki. Fitri juga menggunakan jarit sebagai kemben dari kostum yang digunakannya. Melalui sebuah bingkai, dia membentangkan kain berwarna biru terang sepanjang 8 meter di atas hamparan rumput. Lalu Fitri mulai bergerak dalam posisi jongkok (laku dodog dalam tradisi Jawa) di atas kain biru itu sambil menancapkan pisau. Enam buah pisau tertancap memanjang di sepanjang kain biru yang dilalui Fitri dalam pertunjukannya itu. Lalu dia mulai menarik kain biru itu hingga sobek, karena kain harus melewati pisau yang menancap di atasnya. Setelah seluruh kain biru itu berada dalam pelukannya, Fitri mulai menjatuhkan tubuhnya di atas rumput. Berdiri lagi dan menjatuhkan tubuhnya lagi, lalu berbaring dalam posisi jatuh di rumput. Aksi ini dilakukan berulang-ulang hampir sepanjang 2 jam lebih dalam pertunjukannya. Sebuah pertunjukan yang rasanya mencoba menulis kembali tubuh-tradisi ke dalam dunia masa kini.

Tubuh-Jawa juga digunakan Elyandra Widharta, Guh S. Mana dan Suprato Suryadarmo dalam pertunjukan mereka masing-masing. Suprapto bergerak di dalam timbunan ranting-ranting kering bertentuk bukit kecil. Bergerak seperti ritual dari tubuh Hindu/Budha-Jawa di tengah-tengah hujan yang sedang turun. Ranting-ranting itu seperti ikut berdenyut setiap Suprapto melakukan gerakan. Ranting yang juga menghasilkan rasa tajam dan menusuk setiap gerak dilakukan. Tetesan-tetesan air hujan yang rasanya juga ikut menusuk.

Beberapa gerakan Suprapto dilakukan seperti menerima sekaligus menepis rasa tajam itu. Gerak yang berusaha menghadirkan imaji-imaji yang di bawah untuk datang ke atas dan sebaliknya untuk datang ke bawah. Bahwa ke bawah dan ke atas bukan lagi sebagai peristiwa turun maupun peristiwa naik, melainkan sebuah peristiwa kedatangan. Prinsip ini tampaknya merupakan bagian dari Budha Hinayana yang meniadakan konsep pemisahan kasta dalam ritual maupun kehidupan sehari-hari.

Iwan Wijono membawa konteks lain dalam performance art di Indonesia. Dia merupakan bagian dari gerakan yang menggunakan performance art sebagai perlawanan terhadap rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, anti militerisasi dan birokratisasi. Gerarakan ini cenderung keras. Menggunakan tubuh dan visualisasi sebagai alat protes. Setelah rezim Suharto jatuh, karakter politis dari gerakan performance art ini tetap melekat dalam tema-tema demiliterisasi, melawan hegemoni dalam globalisasi dan pasar bebas. Yuda Cokelat dalam pertunjukannya pada Undiscloused Territory #5, merupakan pelanjut dari tubuh-politis performance art di Indonesia. Dalam Undiscloused Territory #5, Iwan Wijono kembali menggunakan tubuh-politisnya untuk perlawanan terhadap hegemoni keuangan internasional. Pertunjukannya diawali dengan melepaskannya seluruh pakaiannya hingga tinggal celana dalam. Lalu seluruh tubuhnya mulai dibalut dengan cetakan uang dollar, hingga tidak ada satu pun anggota tubuhnya yang bisa digerakkan. Iwan kemudian digotong, dibawa ke dalam mobil untuk memulai aksinya di ruang publik, di pasar rakyat maupun di mall dengan tubuhnya yang sudah menjadi “mumi dollar”. Iwan sendiri menyebut peformance art-nya sebagai seni propaganda.

Saya tidak mengikuti aksi yang dilakukan Iwan ini di ruang publik, karena di Padepokan Lemah Putih acara performance art yang lain terus berlangsung. Saya hanya mencoba membayangkan bagaimana “mumi dollar” dari Iwan Wijono ini harus menghadapi karakter publik di pasar, yang cenderung melihat tontonan sebagai hiburan? Bagimana pesan yang dibawanya harus berhadapan dengan karakter ini? Bagaimana kalau balutan dollar pada tubuhnya justru dibaca sebagai fashion dari dunia mode oleh penonton maupun oleh pers? Risiko ini kalau terjadi memang bisa mengubah tubuh-politis yang dibawa Iwan menjadi tubuh-tontonan dalam pertunjukannya di ruang publik. 

Tubuh-politis memang cenderung tidak memperlakukan dirinya sebagai tubuh yang heran maupun tubuh yang berpikir. Melainkan sebagai tubuh yang bertindak, menjadi media pertama dalam menyampaikan pesan. Tubuh-politik ini bekerja mirip seperti tubuh-jurnalistik (tubuh-media massa) untuk menyampaikan dan membentuk opini. Tubuh yang paling tidak harus mempersiapkan dirinya dalam berbagai latihan untuk melakukan aksi-aksi performance art yang keras. Bahwa perlawanan harus memiliki daya gugah melalui tubuh performance yang dilakukannya. Daya tahan tubuh (di samping visualisasi) menjadi bagian dari kualitas daya gugah tersebut. Daya gugah ini juga terlihat pada pertunjukan Zulkifli Pagesa. Zulkifli berjalan dengan sayap terbuat dari rakitan kayu yang menempel di punggung. Kepalanya terbungkus kantung plastik. Ia perjalan melalui jalan desa menuju Padepokan Lemah Putih yang berada di sebelahnya, sambil mengangkat sebuah batu. Besar batu mirip dengan ukuran jantung manusia. Dan batu itu sendiri memang ditempatkan di tengah dadanya.

Tentu, Zulkifli berjalan dengan ruang napas yang sangat sempit, dibatasi oleh kantung plastik yang menutupi kepalanya. Napasnya hampir habis ketika memasuki bagian tengah Padepokan Lemah Putih. Dan pertunjukan berakhir. Penonton hampir tidak memiliki kesempatan untuk melihat dan ikut merasakan kesulitan bernapas yang dialami Zulkiflik dalam kantung plastik itu, karena dilakukan malam hari dan jalan menuju ke tempat pertunjukan tidak mendapatkan pencahayaan yang cukup. Bahkan sebagian memang gelap. Pemilihan ruang pertunjukan dan riset terhadap resiko ini memang tidak cukup diperhitungkan, sehingga pesan yang akan disampaikan Zulkifli dibiarkan tertelan oleh kegelapan. Posisi Zulkifli sendiri yang terus berjalan dalam pertunjukannya, tidak memberikan jeda untuk penonton bisa melihat napasnya yang tersekap dalam kantung plastik.

* * *

Forum PALA dan Undisclosed Territory ini dikurasi Melati Suryodarmo dan Boris Nieslony. Dua program ini selalu dibuat berdampingan dan saling terkait satu sama lainnya. Pala menjadi ruang pewacanaan performance art yang dilakukan melalui presentasi dan aksi kolaborasi pada open session. Presentasi digunakan untuk saling berbagi pengalaman di sekitar metode, konsep, pandangan, maupun kerja performance art yang dilakukan oleh masing-masing seniman peserta forum ini. Dan open session menjadi praktek bersama dalam performance art yang dilakukan secara spontan. Keduanya menjadi proses untuk membentuk laboratorium bersama. Sementara Undisclosed Territory merupakan aksi pertunjukan yang terbuka untuk publik bisa menyaksikannya.

Yuenjie Maru dari Hongkong, selalu terlibat dalam bagian open session pada pertemuan PALA, di samping Boris Nielslony dan Alan Schacher. Yuenjie banyak menggunakan tubuhnya yang gemuk sebagai media pertunjukannya. Memainkan perutnya yang gendut menjadi berbagai bentuk menyerupai wajah manusia yang menyeringai, tertawa, menyerupai anus atau vagina. Memainkan rambutnya yang panjang, juga benda-benda maupun serangga yang ada di sekitarnya. Dalam pertunjukannya pada Undiscloused Territoy #5, Yuenjie menggunakan payung dan cairan gula untuk mengundang datangnya semut. Tetapi karena musim hujan yang panjang, semut lebih memilih tempat kering dan terlindung dari hujan. Semut rupanya tidak cukup tergoda oleh cairan gula yang ditawarkan Yuenjie.

Performance art pada gilirannya memang sebuah ruang pertemuan dalam jarak minimal, di mana ia tidak didefinisikan melalui dirinya sendiri, melainkan melalui apa yang dipikirkan dan dikerjakan seorang seniman performance art dalam pertunjukan yang dilakukannya. Tempat maupun material yang mereka gunakan, juga penonton, bukanlah media kosong. Semuanya memiliki cerita dan sejarahnya masing-masing yang bisa dirajut kembali. Menempatkan antara mengingat dan melupakan dalam gravitasi waktu. Menjadikannya sebagai imaji-imaji yang kita salin bersama, kita dokumentasi bersama dan kita hisap bersama dalam pertukaran napas, tatapan dan tindakan. 

0 komentar:

Support : Arsip Budaya Nusantara | Kotak Bumbu | Kunci Finansial
Copyright © 2013. Pecinta Malna - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger