Home » , » Puisi Afrizal Malna: Enam Paragraf Dari Ibu

Puisi Afrizal Malna: Enam Paragraf Dari Ibu


Enam Paragraf Dari Ibu

P A R A G R A F  1:   SEKOLAH     TELAH     TERBAKAR Padamkan api. Aku sedang menunggumu di wartel. Kompor sudah disiapkan, bukan untuk memasak seekor anjing. Ah, Negara, mungkin hanya sebuah dusta bersama. Bangsa yang menyimpan gergaji di lehernya. Mungkin kekasihmu telah pindah kerja, dan sekarang bekerja sebagai penjaga toilet di bandara. Mungkin dia sudah punya anak dengan orang lain. Mungkin dia sebenarnya adalah ibumu, yang bajunya pernah kau pake dalam sebuah pesta pernikahan.

PARAGRAF 2: AWAS    TOMBOL    LISTRIK    NEGARA Pagi, di bawah jemuran pakaian basah.Bekas air cucian masih menetes.Perusahaan listrik negara sedang melahirkan seorang raksasa buta dalam sebuah tombol. Rumah-rumah  menjadi api. Rakyat menjadi api. Tangisannya menjadi api. Air terus menetes dari jemuran basah: apakah kita, apakah bangsa, apakah ember, apakah got, apakah partai, apakah parlemen, apakah rongga mulut, seluruh lubang yang menganga menunggu tetes air bekas cucian ibumu.

PARAGRAF 3:  NASI  BASI  DALAM  MULUTKU Burung-burung putih dari selendang ibumu. Kau sedang merebus lapangan basket, aku lihat dari jendela, bolanya melembung kian besar, melompat-lompat, menerjang atap dapur, menerjang piring-piring, kembali lagi ke dalam panci, direbus lagi. Bolanya melompat-lompat, membesar, membuat lapangan basket baru di dapur. Dan nasi basi dalam mulutku. Ibu, ibu jenasahmu masih terus ada di pangkuanku.

PARAGRAF 4: KEMATIAN SEORANG TUKANG GIGI Kau percaya dengan semacam kebahagiaan? Seluruh kesedihan. Sapu tangan yang baru saja disemprotkan pengharum. Hanya lidahmu yang belum pernah kukunyah. Gigi menunggu matahari terbenam di Pelabuhan Ratu. Pantai seperti baru saja disiram cairan cat berwarna perak. Kaki langit, merah, seperti lidahmu. Batu karang menghujam punggung waktu. Penyakit gula membongkar seluruh lemak di betismu, ibu. Dan kematian, seperti keong yang keluar dari rumahnya. Kuda dan srigala berhamburan dari pohon-pohon kelapa. Kau percaya, sapu tangan untuk menyimpan gigimu sepanjang waktu?

PARAGRAF 5: AKU SIBUK MENCARI MESIN JAHIT  Ibu, dang ding dong, ibu, tok, tik, buk, prang, ibu, duk duk ting plas. Aku sedang menjahit, ibu. Menjahit sebuah sarung. Sarung dari waktu dan cintamu.

PARAGRAF 6: TEPUNG BUNGA Aku pukuli wajahku senja itu, hingga bintang-bintang sampai di stasiun kereta api. Sebatang jarum menancap di dadaku, jarum dari seorang ibu. Aku pukuli wajahku senja itu, hingga batu-batu membawa sebuah ambulan ke kantor pos. sebatang jarum menyayat perutku, jarum dari seorang ibu. Aku pukuli wajahku senja itu, hingga mataku menangis di depan seekor anjing. Sebatang jarum menjahit tanganku, jarum dari seorang ibu. Jarum yang menjahit tanganku di antara bintang-bintang, tempat manusia berjanji pada hidupnya. Dan aku memeluknya hingga darah berhamburan dari mulutku. Hingga aku lihat jarum sedang menjahit bunga-bunga dalam pelukanmu.

Terakhir kali, sebelum aku tak sanggup lagi melihat benang-benang mengucur dari renda  yang kau sulam, benang-benang di kaos kakiku, benang-benang dalam sebutir telur. Anak-anak yang memanjat pagar dan merobohkannya di atas pusar ibunya.

Disadur dari Buku Kumpulan Sajak Afrizal Malna : Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing.

0 komentar:

Support : Arsip Budaya Nusantara | Kotak Bumbu | Kunci Finansial
Copyright © 2013. Pecinta Malna - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger