Home » » Kaki-Kaki Air

Kaki-Kaki Air

SETELAH banjir sebulan yang lalu, yang menghanyutkan seorang gubernur dan mayatnya lenyap di Sungai Ciliwung, banyak jalan yang berlubang. Sejak itu warga kota sering bermimpi buruk tentang lubang-lubang di jalan raya itu, juga tentang kematian gubernur. Rakyat merayakan kematiannya sebagai kematian sebuah monster kota. Ruwatan kota dilakukan di Sunda Kelapa. Rakyat melakukan doa di atas perahu, mensucikan kembali jiwa-jiwa yang pernah tersiksa sepanjang hidupnya. Kampung-kampung juga melakukan selamatan bersama untuk mengembalikan arti kehidupan bersama. Tetapi kota ini memang seperti sebuah baskom yang buas. Ruko-ruko berjejer seperti pagar kota, namun juga sebagai kayu api yang mudah dibakar setiap kerusuhan terjadi. Seorang ibu yang mengantar anaknya sekolah, harus melompati atap-atap mobil untuk bisa menyeberangi jalan yang macet. Seorang pengendara sepeda berlari tanpa hambatan, melompati atap bis satu dengan atap bis lainnya. Anak-anak sekolah bermain basket di atas atap kereta jurusan Depok-Kota. Aih, Jakarta, kau seperti seorang nyonya dengan betis bengkak, dipenuhi dengan sardencis, sosis, dan mentega. Aku membeli koran pagi itu. Kota ini selalu ramai dengan berita. Ada wakil presiden yang istrinya tujuh. Ada seorang presiden yang disandera dalam video. Uang beredar trilyunan dalam sehari. Harga kurs dan saham. Ada pesta putauw di rumah wakil gubernur Jawa Barat. Kedubes Amerika ditutup, kenaikan terigu. Ada pencuri pete yang mati digebuki massa yang menangkapnya. Ada anggota partai yang dikarantina agar suara mereka tetap bulat dalam pemilihan gubernur. Padahal gubernur yang akan dipilih itu telah mati dalam banjir yang lalu. Ada bandar heroin yang tertangkap. Tiba-tiba sebuah bis keluar dari koran yang sedang aku baca. Kondekturnya berteriak-teriak: “Grogol!”

“Grogol!”

“Di jalan raya mesti sopan, dong.”

Buset, bagaimana orang bisa membangun kualitas hidupnya di kota seperti ini. Warga kota hanya soal hitungan pajak, bukan? Dan bagian-bagian mana saja dari kota ini yang bisa diperas. Tidak usah khawatir, kualitas itu tidak penting, yang penting adalah bagaimana seluruh transaksi harian bisa dilunasi, bukan? Dan mimpi buruk, jiwa-jiwa yang memaknai hidupnya sendiri lewat kegelapan, adalah cara negatif untuk mengisi kekosongan berbagai proses kualitas kehidupan setiap warga agar tetap berlangsung. Lebih baik aku meralat dusta pagi ini. Sebenarnya aku tidak membeli dan membaca koran. Sebenarnya berita-berita itu juga tidak pernah ada. Pagi itu aku sedang menyapu di halaman. Membersihkan tanaman yang kering dan menyiramnya. Tanaman perdu ramai sekali bercerita tentang akarnya yang terasa perih karena kekurangan air. Pohon mangga gatal-gatal, badannya dijangkiti jamur berwarna putih. Tetapi apa bedanya, sebuah bis tiba-tiba muncul dari bongkahan tanah. Kondekturnya berteriak-teriak: “Grogol!”

“Grogol!”

“Di jalan raya mesti sopan, dong.”

**

MATAHARI baru saja melepaskan diri dari sebuah tembok tinggi yang atasnya dikelilingi kawat berduri pagi ini. Kota terasa lebih sepi dari biasanya. Tidak banyak kendaraan yang lewat. Orang-orang juga lebih banyak tinggal di rumah. Sebagian besar kantor dan daerah perdagangan tutup. Sesuatu sedang terjadi di kota ini. Dua hari yang lalu beberapa lubang di jalan raya tiba-tiba berubah menjadi sumur yang dalam. Airnya jernih. Dalam sumur itu hidup ikan-ikan yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Jilan, anakku, sering melihat ke sumur-sumur itu. Dan setiap ia pulang, setelah melihat sumur-sumur itu, aku melihat matanya telah berubah menjadi sepasang sumur yang dalam, yang airnya jernih, dan ada ikan-ikan yang belum pernah ada sebelumnya. Wabah sumur ini bergerak begitu cepat, jutaan warga dalam waktu cepat, matanya berubah menjadi sumur yang dalam, airnya jernih, dan ada ikan-ikan yang belum pernah ada sebelumnya. Makhluk dengan mata seperti sumur itu kini mewarnai kehidupan kota sehari-harinya. Gejala lain kemudian muncul, sumur itu ternyata mulai memiliki kekuatan yang tak terduga. Setiap kendaraan bermotor yang melewati sumur-sumur itu, mesinnya seketika mati. Hanya kendaraan tak bermotor yang terus bisa berjalan. Begitu pula setiap warga kota yang matanya berubah menjadi sumur, seluruh alat-alat elektronik mati manakala mata mereka menatapnya. Banyak peralatan elektronik atau bermesin yang mendadak mati di kota ini. Orang-orang yang matanya belum menjadi sumur mendadak nilainya menjadi sangat mahal dan dilindungi. Merekalah kini yang dikerahkan bekerja menjalankan kehidupan kota. Mereka mendapat pengawalan super ketat. Bila ada yang mengganggu warga kota yang mendadak menjadi istimewa ini, akan ditembak di tempat. Berbagai cara digunakan untuk melindungi mereka. Pemerintahan kota kini sibuk memikirkan bagaimana caranya menutup sumur-sumur yang tumbuh di seluruh jalan di kota ini. Masalahnya tidak sederhana, karena orang yang berusaha menutupnya, dari matanya akan mengalir air mata terus-menerus, tak henti-henti. Tangisan yang tidak bisa dihentikan oleh apa pun. Tangisan yang sedih dan pedih. Tangisan yang membuat setiap orang yang mendengarnya, seperti menyaksikan sebuah duka cita yang teramat sedih dan teramat panjang. Orang-orang kini tidak lagi membicarakan apa saja yang dilakukan dan telah terjadi sepanjang hari-hari mereka. Sejak kejadian itu, warga kota lebih banyak membicarakan apa artinya cinta dan apa artinya waktu. Entah kenapa kedua topik ini kini menguasai benak warga kota. Orang-orang yang matanya selamat untuk tidak menjadi sumur tidak terlepas dari perubahan topik pembicaraan ini. Mereka juga ikut membicarakan soal apakah cinta dan apakah waktu. Pekerjaan mereka untuk menjalankan mesin kota mulai ditinggalkan, karena mereka lebih banyak ngobrol soal dua topik itu. Para pengawal yang menjaga mereka tidak berkutik. Mereka tidak bisa melarang orang-orang itu untuk tidak membicarakan dua topik itu. Belum ada peraturan untuk melarang orang membicarakan soal cinta dan soal waktu. Bahkan para pengawal itu sering terpaku mendengarkan bagaimana mereka membicarakan cinta dan waktu. Nyanyian itu membuat langit seperti mengeluarkan cahaya biru di malam hari. Orang-orang terharu dengan perubahan ini. Mereka mulai merasa memiliki hubungan baru dengan langit. Melihat langit di malam hari seperti melihat kesibukan makhluk-makhluk yang tugasnya hanya merajut waktu dan merajut cinta. Nyanyian cinta dan nyanyian waktu terdengar di mana-mana. Banyak orang yang menciptakan lagu berdasarkan dua topik itu. Kota ini seketika berubah menjadi sangat romantis dengan nyanyian-nyanyian itu dan sumur-sumur itu. Orang kini lebih banyak menanam bunga dan menjahit pakaiannya sendiri, seakan-akan mereka juga sedang merajut waktu untuk hari esok mereka.

“Lihat, aku baru percaya sekarang, aku baru bisa merasakan sekarang, bahwa aku hidup!”

“Lihat, aku hidup, bukan?” teriak mereka. Tubuh mereka seperti dialiri oleh darah yang baru. Darah yang lama, yang kotor dan hitam pekat telah menguap entah ke mana. Kulit mereka, yang sebelumnya tampak mati oleh polusi yang biadab di kota ini, juga seperti berganti dengan kulit yang baru, segar, dan terasa halus. Bibir mereka tidak lagi kering dan kebiru-biruan. Tapi berwarna merah seperti tomat. Mereka hidup seperti tanam-tanaman. “Aduh... lihat... ada tomat, ada wortel, ada cabai, ada... Semuanya, deh, tanaman ada di sini,” kata Princess.

“Morgen, Princess, sayang.”

Kota ini, kini, tidak pontang-panting lagi mengikuti mesin yang memproduksi kecepatan berlipat ganda. Gerak menjadi normal, natural. Waktu juga berjalan normal, tidak berada jauh di luar akal sehat manusia. Gestur tubuh tidak lagi tampak tegang dan kaku. Orang berjalan seperti tarian. Bibir mereka seperti menyimpan banyak kata untuk keramahan. Pakaian mereka, aih, seperti ada rumah ibadah dalam tubuh mereka, rumah untuk bercinta.

**

SUATU hari, entah siapa yang memulai, rakyat di kota ini mulai menanami pohon di jalan-jalan berlubang itu. Pohon yang berbuah. Bukan pohon yang tidak menghasilkan buah. Seluruh jalan raya di kota ini kini berubah menjadi hutan kota. Hutan yang dibesarkan oleh sumur-sumur itu dan oleh tangan-tangan rakyat. Uang pajak untuk pemerintahan kota, juga digunakan sendiri oleh rakyat untuk membangun kota mereka yang kini menjadi kota baru itu.

“Ayah, aku ingin menjadi tukang sapu di kota ini,” kata Jilan. Dan kau tertawa mendengarnya, tawa yang dibanjiri oleh cara membaca dari mana hidup ini mesti dijalani. Dan cinta, tidak perlu lagi menggenggam sebilah pisau di tangannya, Cinta adalah janji pada setiap butir nasi yang kumakan, pada setiap air yang kuminum, pada setiap udara yang kuhirup. Cinta adalah ... sumur-sumur itu sedang menciptakan waktu dari kaki-kaki air.

Kalimalang, 2002

Dimuat di Kompas 10/06/2002

0 komentar:

Support : Arsip Budaya Nusantara | Kotak Bumbu | Kunci Finansial
Copyright © 2013. Pecinta Malna - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger