Sumber: Rubrik Gelanggang (www.jurnalnasional.com)
Minggu, 28 Oktober 2007
Afrizal Malna adalah seorang penyair penting Indonesia yang selalu berupaya mengeskplorasi setiap ruang pergaulan sastra sebagai arena hidup. Ia pernah mendirikan komunitas sastra, menggeluti kelompok teater, dan juga mengembara ke kota-kota di Indonesia dan mancanegara. Semua ini, adalah bagian dari upayanya menemukan makna terjauh dari bidang kesenimanan yang diperjuangkannya. Kini, kepada Jurnal Nasional, ia menyampaikan pemikiran-pemikirannya tentang perkembangan proses kreatifnya, serta situasi terakhir sastra Indonesia yang diamatinya. Termasuk, perbedaan jalur kreatif, yang menjadi acuan kelompok Ode Kampung dan Komunitas Utan Kayu.
Mas Afrizal, sastra Indonesia sejak dulu diramaikan polemik. Ada yang berangkat dari sastra, tak jarang juga dari wacana ideologi, bahkan ada pula yang menjadikan friksi personal sebagai titik pijak perdebatan sastra. Bagaimana pendapat Anda perihal ini?
Polemik itu seperti membuka isi rumah kita ke publik. Kadang kamar tidur, ruang dapur dan kamar mandi juga ikut dibuka. Tapi saya merasa tidak harus juga ikut membuka pakaian dalam. Kalau pakaian dalam ikut dibuka, kebebasan jadi terasa mencemaskan. Ada orang yang senang telanjang, karena mungkin tubuhnya perlu diketahui publik atau memerlukan udara segar. Tapi telanjang untuk membuka borok di bagian dalam, saya kira ikut mengancam kenyamanan pribadi dalam pergaulan bersama untuk yang ditelanjangi maupun untuk yang melihatnya.
Polemik sudah jadi bagian dari dinamika kehidupan sastra kita. Kadang polemik jadi auman dari mulut goa yang sepi. Hampir setiap polemik berusaha memetakan masalah-masalah yang sedang aktual, termasuk posisi-posisi ideologis yang sedang bermain dalam sastra kita. Sekarang saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa polemik merupakan bagian dari apa yang disebut dengan “sastra koran”. Kegagalan jurnal sastra berkali-kali untuk memainkan politik wacana dalam kehidupan sastra, membuat kehadiran sastra koran kian utama. Tetapi “sastra koran”, sebagaimana dengan politik jurnalisme yang dijalankan oleh media koran, di mana perhatian terhadap pembaca absolut harus dibaca sebagai “pasar pembaca” yang diutamakan, membuat “sastra koran” memiliki pergaulan yang kian terbuka terhadap gaya hidup. Gaya hidup bisa dibaca sebagai “sastra publik”. Karena itu pula sebenarnya “sastra publik” ini berpengaruh dalam politik pemaknaan di setiap terjadinya polemik.
Politik kadang menjadi cara yang murah dan populer untuk memainkan “politik kekuasaan” dalam sastra, dan bukan “politik sastra”. Politik kekuasaan dan primordialisme dalam sastra biasanya muncul karena ada yang terdominasi dan ada yang mendominasi dalam kehidupan sastra kita. “Politik sastra” biasanya menghindar untuk tidak terjebak dalam polemik politik kekuasaan dalam sastra. Politik sastra lebih bermain di tingkat wacana sastra.
Saya kira polemik sastra kita kian memasuki “politik kekuasaan”. Fenomena ini merupakan bagian dari budaya politik kita. Besarnya politik kekuasaan dalam kehidupan sastra kita, saya kira juga merupakan kekecewaan dari tidak terurainya pertanggung-jawaban kuratorial dalam setiap peristiwa sastra yang berkaitan dengan eksekusi karya sastra. Pertanggung-jawaban kuratorial ini cenderung menghindari dari pertanggung-jawaban publik, termasuk yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memberikan penghargaan sastra.
Bagaimana Anda melihat perkembangan sastra Indonesia akhir-akhir ini, pada saat berbagai macam genre penulisan muncul (semisal: sastra kelamin, sastra anti kelamin, sastra pedalaman, dan lain sebagainya)?
Saya tidak tahu apa perlunya membuat kategori sastra kelamin dan sastra anti kelamin. Ini bukan penilaian sastra. Ini merupakan penilaian stereotif terhadap pembusukan kodrati manusia, karena manusia rindu menjadi malaikat dan ingin lebih mendekat kepada citra ketuhanan yang tidak lagi berurusan dengan kelamin. Kelamin sastra Indonesia jelas adalah lelaki. Seluruh prosa maupun puisi Indonesia adalah lelaki. Munculnya sastrawan-sastrawan perempuan, yang kini dibayang-bayangi oleh gerakan alternatif bahwa perempuan juga memiliki wacananya sendiri, saya baca sebagai sebuah “sastra gender” untuk memunculkan langit perempuan yang penuh bintang. Termasuk naluri-naluri kodrati terhadap seks yang selama ini disembunyikan. Selama ini hanya lelaki yang menyatakan naluri kodrati ini. Naluri-naluri kodrati ini yang dilakukan perempuan dalam sastra untuk saya sangat membantu bisa lebih dekat merasakan diri sebagai manusia.
Untuk merasa menjadi manusia kadang harus melalui tahap menjadi binatang terlebih dulu. Sebagai makhluk yang terus-terusan dihantui oleh “bayang-bayang kebenaran, menjadi manusia dan menjadi binatang merupakan bagian dari dialetika positif untuk memahami kebersamaan terhadap semua makhluk hidup. Peristiwa menggunakan stereotip primordialisme ke dalam politik pembacaan karya-karya sastra di Indonesia untuk saya sudah menjadi laten. Laten dari budaya lisan yang cenderung terbelah antara moral stereotip dan kehendak manusiawi. Hal yang sudah berlangsung sejak novel Belenggu Armin Pane divonis sebagai pembawa nilai-nilai demoralisasi pada tahun 30-an.
Perkembangan sastra Indonesia seperti terus berada dalam ketegangan laten dari budaya lisan itu sendiri. Dalam hal ini budaya lisan menjadi negatif terhadap perkembangan sastra. Karena budaya lisan mampu menahan komunitas pemakainya untuk tetap hidup dalam pergaulan stereotip sambil memainkan ikon-ikon perkembangan zaman sebagai performance-nya. Karena itu pula sastra Indonesia seperti terus menahan sebuah batu besar dari minat-minat individual yang penuh ketakutan terhadap publik laten ini.
Di manakah posisi Anda sekarang, dalam percaturan sastra Indonesia?
Usia saya sekarang 50 tahun. Saya merasa tidak memiliki banyak waktu selama ini untuk diri sendiri. Saya sekarang melihat “sastra Indonesia” sebagai ilusi nasional yang memiskinkan dirinya sendiri. Kehidupan manusia tidak mudah begitu saja dibebankan oleh sejarah di luarnya. Memori sejarah jadi negatif terhadap individu yang mencoba mencari visi-visi lain dalam pengembangan wacananya, atau bertemu dengan momen-momen dalam kehidupan empiriknya yang bisa dihayati.
Generasi sekarang lebih pandai untuk bisa menghayati keindahan bahasa Inggris dan curiga terhadap bahasa Indonesia. Fenomena ini untuk saya menjelaskan bagaimana bahasa Indonesia harus menerima risiko besar dari budaya politik dan ekonomi yang menomor-duakan realitas sosial. Realitas sosial seakan-akan dianggap otomatis ikut terangkat setiap terjadinya perbaikan politik dan ekonomi. Realitas sosial dibisukan oleh “basa-basi demokrasi”, tidak dilibatkan ke dalam visi-visi perubahan bersama.
Saya merasa memasuki percaturan sastra Indonesia sama dengan memasuki “proses pemiskinan” itu. Karena itu saya cenderung menjadi “orang lain”. Sastra Indonesia juga saya lihat representasi dari “budaya keluarga dan handai tolan” kita yang masih penuh dengan ayah dan utang budi primordialisme di mana-mana. Saya sekarang ingin menjadi perempuan dan menjadi seekor anjing sekaligus.
Apakah Anda percaya adanya dominasi dan hegemoni sebuah komunitas tertentu dalam sastra Indonesia?
Maafkan saya. Selama ini saya merasa tidak pernah terhegemoni. Mungkin saya seorang apolitis. Dunia di luar saya adalah sebuah pasar yang hiruk-pikuk, rambu-rambunya tidak jelas dan mungkin juga tidak akan pernah jelas. Setiap komunitas sastra hampir selalu berhubungan dengan masalah-masalah eksistensial. Dan ini merupakan hal biasa. Belum ada fasilitator sastra yang tidak berkepentingan atas eksistensinya sendiri di dunia sastra. Sastra Indonesia memang memerlukan manajemen dan kuratorial yang mudah diakses dan lebih bebas dari stereotip eksistensial ini. Orang seperti HB Jassin kini menjadi penting yang memasuki sastra dengan kecintaan terhadap budaya menulis dan membaca.
Merujuk pada perkembangan kesusasteraan akhir-akhir ini (persoalan Pernyataan Sastrawan Ode Kampung dan resistensi dari KUK) bagaimana Anda memaknai "pertikaian" ini?
Ketika polemik ini berlangsung. Saya beberapa kali makan malam bersama Goenawan Mohammad. Baru kali ini saya merasa dekat dengannya. Sebelumnya, saya merasa bertemu dengan GM berarti sama harus bertemu dengan sekian banyak GM-GM lain di sekitarnya dan terasa tidak nyaman.
Selama pertemuan itu kami hanya bercanda. GM seorang penuh humor dan ironi-ironi sejarah. Kami tidak pernah terlibat sedikit pun soal polemik itu. Dia sempat menceritakan pembelaannya terhadap generasi muda kesenian masa kini di Akademi Jakarta, dan rela mundur kalau generasi itu terus dinegatifkan. KUK memiliki mesin dan networking yang kuat untuk kemungkinan terjadinya “dominasi sastra”. Dominasi ini bisa dibaca positif apabila dilihat hasil-hasilnya, misalnya membawa kembali sastra Indonesia ke dalam pergaulan internasional lewat bienale sastra yang mereka buat, juga pengembangan wacana sastra lewat jurnal Kalam mereka.
Tapi juga bisa dilihat negatif dari performance mereka. Ada kesan elite, tak tersentuh, atau munculnya para ayah pembaptis sastra. Tapi untuk saya ini hanya performance, hanya soal efek-efek eksistensial di sekitar GM. Mereka mungkin sedang berjuang untuk tidak membuat TUK sebagai pencitraan seorang GM, Nirwan Dewanto atau Toni Prabowo. Mereka juga mungkin sedang berjuang untuk bisa menghayati setiap lini dari denyut kesusastraan di sekitar kita. Tapi mustahil mereka menyetujui semua karya sastra dan itu hak mereka. Kalau semua karya sastra disetujui, sastra Indonesia berubah menjadi “arisan keluarga”. Yang mungkin dilakukan adalah mengimbanginya dengan memunculkan kritik sastra yang bisa memberi banyak masukan dalam politik pembacaan sastra kita.
Sejarah selalu berulang. Dalam soal Sastrawan Ode Kampung versus KUK, apakah bisa disebut sebagai sebuah polemik, atau "pertikaian" belaka?
Untuk menilai polemik ini bisa menjadi sama dengan membaca ulang karya yang pernah ditulis oleh para yang terlibat dalam polemik ini, atau memang ada visi-visi lain yang tak terbaca oleh mainstream utama sastra yang sedang berlangsung.
Saya mengira, Ode Kampung berdasarkan visi mereka tentang budaya kampung dan budaya informalitas (kampung merupakan basis penting dari budaya informalitas), seharusnya tidak memiliki urusan langsung dengan KUK yang menjalankan mainstream utama dalam sastra kita. Medan ruang gerak keduanya berbeda. Saya mengira keduanya seharusnya saling mengisi.
Apa yang dilakukan Wiji Thukul misalnya, dia menolak mainstream dengan cara menempuh sendiri jalan kepenyairannya dengan cara membacakan langsung puisi-puisi di jalan. Thukul menurut saya menjalankan kepenyairannya lewat budaya kampung. Kampung jauh lebih mandiri, cenderung tidak berurusan langsung dengan negara. Negaralah yang masuk ke kampung. Tapi kampung tidak pernah masuk ke negara. Karena itu pula kampung mudah sekali digusur, tapi juga mudah untuk tumbuh kembali. Kampung memiliki budaya pembangkangan sendiri terhadap otoritas negara.
Sebaliknya, setiap lembaga yang memiliki kekuatan untuk melakukan dominasi (seperti KUK), selayaknya juga harus membuka ruang antara yang mengelola baik isu-isu fenomenal dari munculnya generasi baru, maupun isu-isu lainnya di sekitar sastra. Dan ini memang yang paling rumit, karena pergaulan sastra Indonesia bercampur baur dengan masalah lapangan pekerjaan. Kalau diumumkan sayembara menulis cerpen atau puisi, ribuan naskah akan masuk yang akan membuat para juri pingsan.
Apa yang sebetulnya kita perlukan untuk membuat kesusasteraan Indonesia semakin bermutu dan menemukan jati dirinya?
Sekarang memasuki abad baru. Saya kira soal nilai-nilai Barat, tradisi atau jati diri, kita hibahkan saja ke antropologi budaya. Ini hanya soal politik identitas yang dalam dunia sastra kasusnya menjadi sangat lain. Sastra tidak bisa lagi dibebani oleh soal jati diri manakala kepemimpinan bahasa dijalankan oleh budaya politik yang korup. Kesusastraan sekarang ini bisa lahir dari satelit, bukan? Lubang kosmik yang kita tidak tahu mereka temukan entah di tumpukan sampah yang mana. Didaur-ulang entah dengan teknik dan metode apa. Setiap generasi memasang antenenya sendiri. Bukankah teman-teman sudah menyatakan adanya generasi “cyber sastra” seperti yang dinyatakan Saut Situmorang. Mereka pasti juga bertemu dengan cara bermimpi yang lain dari dunia digital.
Biarkan sastra kita menjadi tidak kuper.
Bagaimanakah sebuah karya sastra yang ideal menurut Anda? Apakah itu harus memenuhi fungsi estetis belaka? Apakah juga perlu fungsi praktis bagi masyarakat?
Ah...
Bagaimana proses kreatif yang Anda alami untuk karya-karya sejak periode Abad yang Berlari, Mitos-mitor Kecemasan, Arsitektur Hujan, Yang Berdiam dalam Mikropon hingga ke periode Lima Sentimeter dari Kiri?
Saya iri dengan dunia tari. Saya setuju bahwa tari merupakan kesenian yang paling dekat dengan manusia karena menggunakan tubuhnya sendiri. Saya ingin memasuki kata seperti memasuki “sejarah tubuh” dari tubuh saya sendiri. Saya ingin menggunakan kata seperti saya bernapas, seperti kaki saya berjalan, seperti tangan saya memegang, memeluk atau mencakar, seperti darah saya yang mengalir dan emosi-emosi tak sadar saya. Untuk merasakan seperti itu saya harus memasuki cara berpikir dunia visual. Kini cara berpikir dunia visual juga tidak mudah lagi. Saya merasa begitu terdominasi oleh billboard-billboard iklan-iklan besar di jalan-jalan hampir seluruh kota besar di Indonesia. Saya merasa tercemari.
Kini saya seperti kembali ke cara kerja klasik yang bermain dengan struktur. Rasanya lelah dan tidak terlalu mampu mewakili emosi saya. Lebih lagi saya semakin tidak tahu menulis puisi untuk apa dan untuk siapa. Semuanya saya lakukan nyaris untuk diri saya sendiri. Untuk sesuatu yang mungkin nothing. Saya sedang mengalami krisis dalam melihat nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan publik kita. Rasanya ingin hidup tanpa kebudayaan, kalau dia menjadi sudah begitu sangat merumitkan dan melibatkan profokasi massa.
Apakah Anda bisa mengomentari proses kreatif Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor, Sitok Srengenge, dan beberapa penyair lain yang menarik perhatian Anda?
Maafkan, saya tidak mengikuti proses kreatif mereka.
Ketika di FKY (Festival Kesenian Yogyakarta 2007, red), Anda sempat mengemukakan tentang pilihan semakin bergerak ke pinggiran. Apa maksudnya?
Saya ingin menjadi “the other”. Saya ingin bersembunyi di balik kesepian saya.
Komunitas sastra sering menjadi intelectual enclave di berbagai daerah, bahkan juga pusat. Ketika komunitas menjadi lebih penting, bagaimana posisi sastrawan sebagai individu yang justru harus otonom?
Kadang memang munculnya komunitas sastra dilandasi oleh soal-soal eksistensi. Kepentingan bersama dan kepentingan pribadi menjadi samar. Memang ada individu yang membutuhkan komunitas karena merasa tidak ada wadah yang bisa menampung visi-visinya. Tapi juga ada individu yang ingin berjalan sendiri seperti pengembara. Kini budaya komunitas dalam kesusastraan kita memang jauh lebih populer dibandingkan dengan budaya mengembara. Mengembara seperti ketinggalan zaman, mungkin dianggap lebih hanya menyiksa diri sendiri atau eksotik. Saya lebih menghormati seorang pengembara daripada seorang organisator yang terlalu banyak kepentingan pribadinya. Saya juga pernah membuat komunitas sastra dan hanya bisa bertahan setahun. Saya melihat teman-teman mulai berubah justru saat komunitas itu berdiri. Saya lebih baik kehilangan komunitas daripada kehilangan karakter dari teman-teman saya sendiri.
Tapi seorang sastrawan, dia juga sama seperti makhluk sosial lain yang membutuhkan kelompok dan juga membutuhkan individu. Komunitas hanya menjadi rumit dalam budaya lisan yang negatif. Komunitas yang lahir dan tidak kritis terhadap sisi negatif dari budaya lisan ini, kehadirannya tidak menyumbang apa-apa dalam kehidupan sastra, hanya berteriak-teriak omong kosong.
Bonnie Triyana
0 komentar:
Post a Comment