Home » , » 4 Sajak Afrizal Malna di Buku: Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing

4 Sajak Afrizal Malna di Buku: Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing



Kota-Kota dalam Tas Koper

Di jendela kereta, ombak bergerak di jendela kereta, seperti tangan waktu yang datang dari Selatan di jendela kereta. Berjalan bersama padi-padi hijau, buih putih di jendela kereta. Tas-tas berjejer dalam kereta, masing-masing menyimpan sebuah kota. Di jendela kereta. Terkunci. Petak-petak garam membuat warna putih dari punggungmu di jendela kereta. Tubuh yang lebih dekat dengan dirinya, suara kereta dan senja di jendela kereta. Aku menciuminya seperti bunga-bunga kopi yang datang dari sebuah pagi di jendela kereta.

Satu jam lagi, Semarang akan datang padaku, seperti kota abad 18 dalam pelukanmu. Tapi masih ada flu di hidungku, yang datang dari kipas angin dalam kereta itu. Soda susu, nasi rawon, dan lontong opor ayam. Sebelum kau terbangun, anak-anak berlarian membuat tawa dari mimpimu. Titik-titik hujan di jendela kereta, membuat lagi kota yang lain, sepanjang ciuman yang membuat tubuhmu bening seperti toples air.

Di Iuar jendela kereta, pohon-pohon berjalan di luar jendela kereta, bersama langit di luar jendela kereta, kawanan itik di luar jendela kereta, perahu-perahu nelayan di luar jendela kereta, seperti pusaran yang seluruhnya bergerak di dasar tubuhmu. Dan waktu adalah bayi-bayi tanpa ibu.

Satu jam lagi, pagi ini, laut akan datang, mulai menyentuh kaki-kaki kota. Hidup menjadi lebih panjang. Kota, laut, daratan yang bertemu seperti anak-anak yang mengambil sebutir permen dari tasmu. Aih, kenapa di luar juga ada ibu 80 yang datang, membawa pisang dan piring-piring tua. Dia bilang, “aku adalah waktu”. Halaman masa kanak-kanak yang mulai berwarna kecoklat-coklatan, jendela-jendela dari bentangan sawah. Telpon dari bekas kekasih, dan deretan hutan pinus yang masih menyisir kesedihan dari alis mataku. Lalu hujan turun, seperti pelukan yang tak henti-henti membangun kotanya sendiri.

1998



Mari Aku Sisir Alis di Matamu

Tadi sudah aku beli ketimun, lima buah. Warnanya hijau pucat. Mari aku lihat alismu, aku sisir. Masa kanak-kanak memeluk punggungmu lagi dari belakang. Ada tawa bayi yang membuat waktu di pintu kota. Masa kanak-kanak berlari lagi, bercerita lagi padaku. Ah, tembok-tembok itu seharusnya tidak berdiri, seharusnya biarkan sawah-sawah datang padaku setiap hari, angin datang padaku setiap hari, dan tetangga-tetangga juga datang meminjam minyak goreng atau mengambil buah mangga. Seharusnya tanah ini tidak dipenuhi lagi oleh rumah-rumah. Seharusnya aku sudah mencintaimu seiak 100 tahun lalu.

Aku sudah mandi, sudah sikat gigi. Tubuhku kini berbau buah sawo. Dan tubuhmu pagi yang abadi, yang membuat rencana-rencana. Besok aku akan mengajakmu naik perahu, seperti sungai Musi yang membuat kota Palembang. Besok aku akan mengajakmu membuat manisan belimbing. Kamu berjalan berjingkat, menggambarkan politik seperti kesibukan mencuci piring di dapur. Besok kita buat rujak dari jambu yang aku petik di kebun. Mana madunya, mana bunga mawarnya, lalu puisi-puisi Rumi tentang cinta. Aku memelukmu dengan langit yang tumbuh di telapak tanganku.

Biarkan langit ada di situ. Biarkan orang memandangnya, memberikan warna biru pada mimpi-mimpinya. Dan masa kanak-kanak yang berlari lagi memelukmu dari belakang. Menelponmu saat-saat kesepian. Biarkan hujan sendiri yang membawa payung. Aku tidak mengubahnya. Kita berjalan berjingkat, melihat dunia di luar bergerak seperti masa kanak-kanak kita. Lalu ini langit untukmu, langit Oktober, aku baru memetiknya dari kebun. Hingga pagi menjelang dari tubuhmu.

1999



Mayat Politik Ditutupi Koran Pagi

Ada orang hilang. Tapi ada orang pecah juga. Presiden di rumah sakit Tangan dan lehernya mengeluarkan gergaji. Tapi dewan perwakilan rakyat harus dibuat lagi. Seperti membuat matahari dari daun pisang. Ada orang hilang. Tanah telah memuntahkan tubuhnya kembali. Sepatu tentara berjatuhan dari mulutnya. Ada orang hilang. Gedung parlemen berbau mayat, dapurnya juga berbau mayat. Presiden harus dibuat lagi. Kabinet harus dibuat lagi. Tapi ada orang hilang. Matanya ditutup politik yang terbuat dari gergii. Tanah muntah. Tak bisa lagi menumbuhkan tanaman. Ada orang pecah. Tanaman muntah. Tak bisa lagi berbuah. Hutan membakar dirinya sendiri. Bangunan membakar dirinya sendiri. Orang dibakar, terbakar. Orang diperkosa. Negeri diperkosa. Tanah diperkosa. Ada orang hilang, aku menculik diriku sendiri. Parlemen harus dibuat. Mahasiswa menyerahkan badannya di depan tombol diktaktor. Ada orang hilang! Mayat gosong. Kepercayaan yang telah menyimpan mayat. Ada bahasa yang mengancam lehermu. Kepercayaan yang pecah. Anak-anak tak bisa minum susu, tak bisa sekolah. Buku-buku mahal. Padi tak berbuah lagi. Ada gunung meletus. Rakyat harus dibuat. Demo harus dibuat. Ada tempat penyiksaan. Tulang-tulang digali dari lehermu. Pintu parlemen digergaji. Ada matahari, lembut, terbuat dari daun pisang. Kemari. Dengar. Ini negeri untukmu. jangan begitu memandangku. Aku mayat. Mayat politik Yang pernah diculik. Disiksa. Jangan menguburku seperti itu, seperti mengubur negeri ini. Jangan. Kemari. Dengar. Ini tanganku. Masih hangat. Seperti pembalut politik untuk menutup matamu. Kemari. Mari. Masih ada seratus tahun lagi di sini, ini, di tanah ini.

1998



Reformasi Jam 1 Siang dan Telur Asin

Jam 4 siang nanti, Mono, Mogan, Budi, tenda-tenda perubahan, kesenian yang terbongkar mendengar teriakannya sendiri, jam 11 siang, Andre, Lili, Bunda, Panggung untuk cinta dan kemarahan, Mualim, Labbes, Ibau, Tamba, jam 6 sore, kemana Garin pergi, kemana Sitok pergi. Busro, Lulu, Indra, Romi, ada isu dari telpon, teror lima ratus perak, paranoia-paranoia yang terus membuat politik dari singkong goreng, seni, seni yang hidup di dalam bacot, jam 9 malam nanti, kemana Jabo pergi, Fahmi membuat Padamu Negeri di sana. De Rantau berteriak taik. Wahyu, Ikra, Gallis membuat topeng-topeng tiga ratus ribu perak, mereka kirim nasi untuk makan kita, jam 11 malam, di kantong tinggal 1000 perak, demo terus bergerak, membuat politik dari kepalan tangan, kita buat juga cinta, bunga kertas untuk reformasi, panggung yang gugup menerima kebebasan, Anas, ini buku-buku hanya diiual di sini, jam 1 siang nanti, kita hidup dari sedikit humor, segelas kopi sedikit lebih manis,  Zamzam, Dindon, Azuzan, ini kompor untukmu, bongkar semua tempat tidur untuk kesenian, kuburan jam 7 malam untuk tombol-tombol politik masalalu, digali lagi dalam mulut-mulut yang penuh meja, foto copy, fax, rekaman mayat-mayat dibakar, arang yang terus membara pada tubuh-tubuh jam 12 malam, mana nomor telponmu Jolly, bangkrut, wawancara lagi, Kamil mengirim surat untuk Tuan Presiden, dan panggung miring mengirim kapal ke dasar laut, beri aku sikat gigi dan mandi pagi, di sana ada gudang beras, pabrik duit, hutan ketakutan yang ditanam telah terbakar, apinya menyambar seperti tangan-tangan sibuk mencari pegangan, Cikini, reformasi di sini, ketika kendang mulai ditabuh, puisi dibacakan, pidato yang penuh batu, dan kucing lahir dalam kardus di Minggu pagi, aku di sini menjaga kata dalam sebuah gerobak, melihat dongeng dalam mikropon, nanti jam 9 malam, hantu-hantu politik akan membuat sebuah demokrasi dari sapu tangan dan gergaji, nanti Firman, ketika burung-burung datang mengirim kesenian dalam kantong-kantong plastik, truk-truk kosong jam 12 malan nanti embun mulai turun di pipi kami.

1998

0 komentar:

Support : Arsip Budaya Nusantara | Kotak Bumbu | Kunci Finansial
Copyright © 2013. Pecinta Malna - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger