Chairil memasuki pergaulan seni rupa yang menurut saya menarik. Ada beberapa pelukis penting yang berhubungan erat dengannya, yaitu Affandi, S Sudjojono, Basuki Resobowo, dan Nashar. Dalam sebuah puisinya, Chairil menyebut salah satu lukisan Raden Saleh, ”Kebakaran di Hutan”. Ilustrasi dalam buku puisi Chairil terbitan Dian Rakyat, juga dibuat perupa penting yang pernah menyatakan ”seni rupa Indonesia tidak ada”, Oesman Effendi.
Lukisan Affandi tentang Chairil, yang dirampungkan pada saat penyair itu dimakamkan, memperlihatkan penglihatan pergaulan seniman dalam lingkungan sosialisme dan eksistensialisme pada masanya: warna-warna keras, tajam, kelam, dan bergelombang. Tubuh Chairil melompat (seperti terbang), jari-jari tangannya terbuka antara menggapai dan akan mencengkeram. Kebinatangan yang dibiarkan menjadi luapan energi pada tubuhnya.
Lukisan itu ikut menarasikan sosok kepenyairan dan bagaimana seorang seniman memandang kehidupan. Narasi yang menjadi legendaris tentang kesunyian, individualisme, pemberontakan yang mewarnai identitas seniman-seniman modernis pada masanya. Masa di mana pertemuan antara sastra dan seni rupa saling membentuk narasi untuk imaji-imaji di sekitar dunia seni dan seniman. Bayangannya ikut menciptakan ilusi dari bagaimana seni dan sastra mengisi arus internalisasi dari kebudayaan baru untuk Indonesia baru.
Menjadi menarik kalau kita menatap lukisan itu melalui salah satu puisi Chairil yang ditulisnya untuk Affandi ”Kepada Pelukis Affandi”: Dan tangan ’kan kaku, menulis berhenti. Kecemasan derita, kecemasan mimpi. Berilah aku tempat di menara tinggi. Dimana kau sendiri meninggi. Antara Chairil dan Affandi, keduanya saling mengambil posisi monumental dalam membangun personifikasi dari bentuk kemanusiaan yang mereka idealkan. Kemanusiaan yang berusaha keluar dari setting bangsa inlander yang telah mengoloni tubuh-kolonial dalam pergaulan setelah kemerdekaan. Aku binatang jalang tidak hanya perlawanan politik tubuh dari kolonialisme antropologi atas bangsa-bangsa terjajah. Tatapan monumental ini, yang banyak memenuhi bahasa visual dalam puisi-puisi Chairil, kadang menjadi sangat karikaturalistik dalam penggambaran kepahlawanan. Terutama dalam puisinya tentang Dipo Negoro: Pedang di kanan, keris di kiri. Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Puisi itu tidak terlalu jauh dari bagaimana Raden Saleh menafsirkan kembali adegan penangkapan Diponogoro yang memperlihatkan komposisi politik tubuh antara tubuh-kolonial dan tubuh-penjajah. Lukisan yang mengubah perjuangan Diponogoro yang tanahnya telah dirampas menjadi ikon perlawanan nasionalisme yang heroik. Puisi Chairil yang lain, ”Betinanya Affandi”, juga untuk Affandi, menarik untuk dilihat dalam konteks lukisan Affandi tentang Chairil maupun paradoks identitas Barat dan Timur yang masih menjadi wacana besar pada masa mereka: … jika di barat nanti menjadi gelap. Turut tenggelam sama sekali. Juga yang mengendap. Di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.
Permainan rima antara gelap, tenggelam dan mengendap merupakan khas Chairil membuat majas dalam puisi-puisinya. Gelap dan tenggelam menjadi visual ketika dimasukkan unsur mengendap dalam puisinya. Mengendap menghasilkan gambaran antara kemanusiaan, kerawanan dan kecemasan sekaligus, tetapi juga unsur gerak yang disembunyikan.
Gramatika
Chairil juga membuat puisi untuk pelukis Basuki Resobowo dalam tiga versi. Puisi yang memberi pembacaan kritis terhadap cara-cara agama melukiskan surga melalui bidadari dan sungai susu. Penghadiran sosok nenek dalam puisi ini digunakan Chairil untuk memunculkan ruang dongeng dari kebiasaan bahwa neneklah yang selalu menceritakan dongeng. Sosok yang memenuhi unsur ruang dan waktu sebagai narasi di luar pengalaman investigatif.
Pergaulan seni rupa yang dilakukan Chairil terlihat hasilnya yang lebih konkret pada gramatika puisi yang tidak lagi melayani gramatika bahasa Indonesia. Gramatika puisi Chairil mematahkan unsur linieritas bahasa melalui kerja ”menatap” yang banyak dilakukan dalam puisi-puisinya:
Dan bara kagum menjadi api/ Berselempang semangat yang tak bisa mati// Mampus kau dicabik-cabik sepi// Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulan terbuang// Sedang dengan cermin, aku enggan berbagi// Aku bercermin tidak untuk ke pesta.
Gramatika itu membuat dinamika baru antara subyek dan predikat. Majas yang tidak lagi melakukan hiperbola pada umumnya, seperti cara-cara penggambaran kecantikan perempuan dengan ”bulan purnama”. Melainkan majas yang dilakukan dalam lingkungan semiotik dari subyek yang diangkat, seperti antara bara dan api (Dan bara kagum menjadi api). Bara dan api mengalami visualisasi baru dengan memasukkan kata kagum dalam puisi ini. Faktor kagum yang dengan tegas menghasilkan tubuh pada bara dan api. Chairil memasukkan faktor tubuh dalam bahasa puisinya yang tidak lazim dalam puisi-puisi dari generasinya: Mampus kau dicabik-cabik sepi. Sepi dihadirkan sebagai makhluk yang buas.
Dalam dunia patung, kerja monumental umumnya dilakukan melalui pilihan materi-materi berat seperti logam, batu, dan beton. Menggunakan ukuran besar yang tidak bisa diatasi tubuh. Ditempatkan di ruang outdoor yang bisa terlihat dari berbagai arah. Dalam puisi Chairil, kerja monumental itu bisa menjadi sangat internal: sesuatu yang terjadi di dalam, melainkan tetap bisa dilihat dari luar. Dalam puisi ”Lagu Biasa” itu, unsur eksternal dalam setting internal terjadi dengan menghadirkan faktor orkes dan nyanyian ”Ave Maria” yang dibuat paradoks antara religiusitas dan tindakan romantik lelaki perempuan.
Kerja monumental seperti yang dilakukan Chairil itu, dengan latar modernisme yang bunyinya tidak hanya keras untuk bahasa Indonesia, tetapi juga untuk Indonesia sebagai pembentukan bangsa dan negara baru, merupakan latar yang kini sulit kita temukan. Kerja monumental semakin tergantikan dengan realitas fragmentaris yang berlangsung di sekitar kita. Realitas yang pecah, masa kini yang realitasnya selalu kehilangan bingkainya sendiri. Pergeseran pasar dan modal, pergantian produk-produk konsumsi yang masif dan cepat, mobilisasi ruang dan waktu yang cepat, migrasi identitas yang masif melalui globalisasi, salah satu di antara faktor yang tidak lagi memungkinkan menggunakan kerja monumental dalam politik identitas kita di masa kini.
Globalisasi dengan unsur utamanya dalam kontrol keuangan internasional, pada satu sisi memang masih menggunakan maksimalisasi dari kerja monumental melalui pembesaran modal, pasar, dan produk-produk massal. Tetapi semuanya dilakukan dengan materi yang lebih cepat rusak dan hancur untuk menghasilkan perputaran yang lebih cepat. Mengecoh penguasaan di atas fondasi yang tidak permanen, melainkan mobil untuk percepatan, perubahan, dan pemindahan.
Kardus merupakan materi yang tepat untuk realitas masa kini. Kardus digunakan untuk menyimpan dan melindungi. Tetapi sifatnya sementara, tidak seperti penggunaan peti besi. Sementara cermin, yang banyak digunakan Chairil dalam puisinya, kini menghasilkan ruang maya yang baru melalui media digital, TV, maupun internet. Tidak satu pun puisi Chairil pada masanya yang menggunakan materi kardus, dan memperlihatkan bagaimana dunia pengemasan pada masa Chairil memang masih berada dalam ilusi cermin: aku bisa melihat diriku dengan posisi di depan cermin. Cermin seakan-akan telah mengembalikan aku kepada diriku sebagai ”aku yang terlihat”. Tetapi aku dalam cermin itu, adalah aku yang tidak bisa dimasuki.
Sumber:
Kompascetak, 28 April 2013
0 komentar:
Post a Comment